Sabtu, 04 Januari 2014

Sejarah ringkas Barru

beritaparepare.blogspot.com,- Menurut cerita-cerita orang dahulu, nama Barru sebelum terbentuknya kerajaan terjadi akibat perkawinan turunan bangsawan Luwu dengan Gowa diatas bukit Ajarenge dimana disitu banyak pepohonan kayu yang disebut Aju Beru. Kemudian nama Aju Beru itulah yang hingga kini dikenal dengan nama Barru.
Sebelum adanya kerajaan di Barru, menurut Lontara silsilah Raja-raja Barru pada mulanya Barru dirintis oleh Puang Ribulu Puang Ricampa hingga datangnya seorang keturunan ManurungE Ri Jangang-Jangngan menjadi Raja pertama (I) di Barru yang kemudian setelah wafatnya digantikan oleh anaknya yang bernama MatinroE Ri Kajuara. Adapun batas-batas kerajaan Barru pada masa itu adalah:
1. Sebelah Selatan berbatasan dengan kerajaan Tanete
2. Sebelah Timur berbatasan dengan Soppeng
3. Sebelah Utara berbatasan dengan Soppeng Riaja
4. Sebelah Barat berbatasan dengan lautan Selat Makassar.
Dengan batas kerajaan inilah raja Barru ke III yaitu MatinroE Ri Daunglesang melaksanakan pemerintahannya dengan mendirikan Bate Tuwung dan Bate Mangempang. Setelah raja ke III ini wafat beliau digantikan oleh puteranya yaitu MatinroE Ri Gollana sebagai raja ke IV dan dalam pemerintahannya beliau menganggap perlu kerajaan Barru ini dibagi menjadi :
1. Barru Timur
2. Barru Barat
Barru Timur yaitu diperkirakan pada daerah sekitar pegunungan dan Barru Barat yaitu daerah sekitar pesisir pantai. Barru Timur kemudian diserahkan kekuasaannya kepada adiknya sedangkan raja Barru MatinroE Ri Gollana memerintah di Barru Barat. Setalah wafatnya MatinroE Ri Gollana beliau digantikan oleh puteranya yang bernama MatinroE Ri Data (V). Raja ini memiliki persahabatan yang cukup dekat dengan raja Soppeng dan setelah wafatnya digantikan oleh puteranya yang bernama MatinroE Ri Bulu (VI). Pada masa pemerintahannya beliau pernah berperang dengan Soppeng dan bersahabat dengan Suppa. Setelah wafatnya beliau digantikan oleh puteranya yang bernama MatinroE Ri Barugana. Dalam pemerintahannya pernah hidup seorang pemberani yang bernama To Pakapo dan pernah berperang dengan Pange dan Palakka yang berakhir dengan kemenangan Palakka. Setelah wafatnya beliau digantikan oleh Daeng Maero MatinroE Ri Lamuru sebagai raja ke delapan (VIII). Pada masa pemerintahan beliau datanlah orang dari Gelle untuk meminta tempat tinggal dan diberikanlah daerah Madello sehingga mereka dikenal dengan sebutan orang Madello. Setelah wafatnya beliau digantikan oleh anaknya yang bernama MatinroE Ri Ajuarana (IX). Pada masa pemrintahan beliau datang orang Sawitto meminta tinggal dan diberikanlah tiga daerah yaitu Coppo, Ammaro, dan Maganjang dengan jalan menyewa tanah. Setelah wafatnya beliau digantikan oleh MatinroE Ri Coppobulu (X). Raja inilah yang membawa Bate Bolonge ke Tanete untuk ditukar dengan Batena Tanete yaitu La Sarewong kemudian dibawa ke Barru. Pada masa beliau jugalah dibentuk empat kepala kampung yang disebut Matowa yaitu Matowa Baleng, Matowa Tuwung, Matowa Batubessi dan Matowa Ta’. Setelah wafatnya beliau digantikan oleh anaknya yang bernama MatinroE Ri Laleng Beru (XI). Raja inilah yang menerangkan ArajangE La Sarewo apabila hendak diupacarakan. Pada masa pemerintahan beliau datanglah seorang Karaeng dari Gowa untuk menyerang Tanete dan dimenangkan oleh Karaenge dari Gowa. Pada waktu itulah raja Barru bermaksud berangkat ke Pancana untuk menerima ajaran agama Islam. Belum tercapai niatnya tersebut beliau sudah wafat dan digantikan oleh anaknya yang bernama MatinroE Ri Duajenna (XII). Raja inilah yang pertama membawa masuk agama Islam di Barru. Karena beliau tidak memiliki anak maka setelah wafatnya beliau digantikan oleh kemenakannya To Riwetta Ri Bampa. Beliau pernah berperang dengan kerajaan Bone yang waktu itu dibawah kekuasaan Petta Malampe Gemmegna. Beliau wafat dalam medan perang dan kemudian digantikan oleh saudaranya (XIV). Raja inilah yang kemudian bersahabat dengan Bone dan setelah wafatnya beliau digantikan oleh sepupunya seorang perempuan yaitu MatinroE Ri Gamaccana (XV). Raja inilah perempuan pertama yang menjabat sebagai raja di Barru dan kemudian menikah dengan anak raja Gowa. Beliau jugalah yang menyatukan kembali Barru Timur dan Barru Barat dengan pusat kerajaan di Barru Barat. Setelah wafatnya beliau digantikan oleh anaknya yang bernama I Lipa Daeng Manako yang setelah wafatnya bergelar MatinroE Ri Madello (XVI). Raja inilah yang kemudian membawa sebagian rakyat dari pihak Bapaknya yaitu Bajeng ke Padangke dan membuka perkampungan disana. Setelah wafatnya beliau digantikan oleh I Malewai MatinroE RI MaridiE (XVII). Setelah wafatnya beliau digantikan oleh I Rakiyah Karaeng Agangjene (XVIII). Setelah wafatnya beliau digantikan oleh anaknya yang bernama To Appo MatinroE Ri SumpangbinangaE (XIX). Setelah wafatnya beliau digantikan oleh To Apasewa MatinroE Ri Amalana (XX). Beliau menikah dengan I Halija Arung Pao-Pao. Setelah wafatnya beliau digantikan oleh puteranya yang bernama To Patarai MatinroE Ri Masigina (XXI). Setelah wafatnya beliau digantikan oleh puterinya yang bernama We Tenripada (XXII) dan kawin dengan anak raja Gowa Patimatarang. Raja inilah yang juga pertama kali membangun mesjid di Mangempang. Beliau kebanyakan berdomisili di Gowa dan sehingga wafatnyapun di Gowa. Setelah wafatnya pangulu adat kerajaan menyerahkan kerajaan Barru kepada suaminya yang bernama Patimatarang namun hanya berjalan selama setahun saja. Kemudian beliau menyerahkan kerajaan Barru kepada puterinya yaitu Batari Toja (XXIII) pada tahun 1895. Pada masa pemerintahan beliau terjadi perang antara Tanete dan Lipukasi yang berakhir dengan direbutnya Lipukasi oleh raja Tanete (Pancaitana). Setelah itu batas kerajaan Barru berubah menjadi:
1. Sebelah Utara sampai sungai Madello hingga ke Selatan sampai ke sungai Lajari.
2. Dari pesisir pantai Selat Makassar sampai ke Timur kerajaan Soppeng.
Karena Batari Toja dalam pemerintahannya kebanyakan berada di Gowa sehingga untuk melaksanakan pemerintahan diberi kepercayakan kepada:
1. ANDI MATTANIO ARUNG TUWUNG (Ayahanda ANDI DJUANNA DG MALIUNGAN) melaksanakan pemerintahan disebelah Selatan sungai ( Taitang Salo)
2. Daeng Magading melaksanakan pemerintahan di sebelah Utara sungai (Manerang Salo).
Pada tahun 1908 Batari Toja digantikan oleh puteranya yang bernama Kalimullah Karaeng Lembang Parang atau dikenal dengan nama Kalimullah Djonjo Karaeng Lembang Parang. Pada masa itu yang menjabat sebagai Sulewatang (Pengganti kekuatan raja) adalah Andi Djuanna Daeng Maliungan.
Kerajaan Barru Menjadi Swapraja
Pada masa Kalimullah Djonjo Karaeng Lembang Parang yaitu di tahun 1908 kerajaan Barru menjadi Onder Afdelling dan dibawah pengawasa Controlleur Belanda hingga tahun 1942. Kemudian Jepang datang tahun 1942 dan melanjutkan pemerintahannya hingga tahun 1945. Setelah Jepang berakhir kembali kerajaan Barru dibawah penguasaan Controlleur Steller yang berkuasa di Barru sampai tahun 1946. Pada tanggal 9 September 1945 Andi Sadapoto yaitu putera Karaeng Lembang Parang diangkat menjadi raja untuk menggantikan Ayahnya. Pada tahun 1947 Andi Sadapoto digantikan oleh Andi Sahribanong dan dalam tahun 1948 inilah kerajaan Barru berubah menjadi Swapraja dengan kepala pemerintahannya yang baru bernama K.P.N. Abdul Latief Daeng Masiki kemudian diganti oleh Patotoreng dan sebagai kepala swapraja Andi Sahribanong kemudian diganti oleh Andi Sumangerukka.

Sumber :
http://ajatappareng.wordpress.com/2010/11/05/sejarah-ringkas-kerajaan-barru/

Baca juga :

SILSILAH KERAJAAN BONE

beritaparepare@blogspot.com,-SILSILAH RAJA BONE
Riwayat Raja Bone (1) : Manurunge’ ri Matajang

Tulisan ini merupakan tulisan bersambung tentang Riwayat Raja – raja Bone. Bone merupakan salah satu kabupaten dalam lingkup wilayah Propinsi Sulawesi Selatan. Ibukota Kabupaten ini, Watampone memiliki luas wilayah 4.559 km² dan secara administratif terdiri dari 27 kecamatan, 333 desa dan 39 kelurahan. Kabupaten ini terletak 174 km ke arah timur Kotamadya Makassar, berada pada posisi 4°13′- 5°6′ LS dan antara 119°42′-120°30′ BT, pada sebelah utaranya berbatasan dengan Kabupaten Wajo dan Soppeng, sebelah timur dengan Teluk Bone, sebelah barat berbatasan dengan Maros, Pangkep dan Barru dan sebelah selatannya dengan Kabupaten Gowa dan Sinjai.
Di bekas wilayah kabupaten inilah pernah berdiri sebuah kerajaan besar yang merdeka dan berdaulat, yaitu Kerajaan Bone. Rajanya digelari Arung Mangkaue ri Bone, yang artinya Raja yang berkedudukan di Bone. Kerajaan Bone berdiri sekitar Abad XIV dengan raja pertamanya, Manurunge’ ri Matajang. Rajanya yang terkenal diantara Arung Palakka Petta Malampeq Gemmekna, yang oleh Belanda digelari “Radja Palacca, Koningh der Bougis”. Sebagian besar penduduknya berpenutur Bahasa Bugis, biasa juga disebut To Ugi Bone (orang Bugis Bone). Salah seorang putera terbaik Bone pernah menjabat sebagai Wakil Presiden RI, beliau tak lain adalah HM Jusuf Kalla.
* * *
Hampir semua kerajaan di Sulawesi Selatan mempunyai dongeng, mitos atau Patturioloang (cerita tentang Orang – orang dahulu kala) yang menyatakan bahwa raja pertama kerajaan dalam wilayah Sulawesi Selatan itu adalah Tumanurung (bahasa Makassar) atau TomanurungE (‘tu’ atau ‘to’ berasal dari kata ‘tau’ berarti orang sedang ‘manurung’ berarti yang turun dari langit atau kayangan). Bahkan, tidak hanya berhenti disitu, istrinya yang kemudian menjadi ratu, ibunda dari pangeran yang akan melanjutkan dinasti kerajaan juga biasa disebut TumanurungE (Makassar : Tumanurung bainea, Bugis : Tomanurung makkunrai). (Makkulau, 2005).
Kronik Bone memulai cerita masa awal kerajaannya tepat diakhir cerita I La Galigo dimana dijelaskan masa sebelum datangnya Tomanurung sebagai masa kekacauan yang berlangsung selama tujuh pariyama (generasi). Menurut hitungan lama, satu pariyama sama dengan masa 100 tahun. Jadi kalau mengacu pada perhitungan ini maka keturunan Puatta MenreE ri Galigo telah hilang 700 tahun sebelum kemunculan Tomanurung. Bone dan negeri - negeri sekitarnya mengalami kekacauan yang luar biasa. Dalam Lontara’ Akkarungeng ri Bone, diketahui bahwa setelah berakhir keturunan Puatta Menre’E ri Galigo, keadaan negeri - negeri diwarnai dengan kekacauan karena tidak adanya Arung (raja) yang mengatur tatanan kehidupan bermasyarakat. Terjadilah perang antar kelompok anang (perkauman) yang berkepanjangan. Dalam istilah lokal, hal ini disebut saling memakan bagaikan ikan (bugis : sianre bale). Kelompok - kelompok kaum saling bermusuhan dan berebut kekuasaan dimana yang kuat menguasai kelompok yang lemah dan memperlakukan sesuai kehendaknya. (Makkulau, 2007).
Nanti setelah TomanurungE, menjadi penguasa di Bone, barulah ketertiban dapat ditegakkan dan kesejahteraan rakyat dapat dikembalikan. Ditetapkannya penguasa Tomanurung di Bone diikuti dengan pembentukan Dewan Penasehat, Aruppitu (Tujuh Penguasa), yang terdiri dari pemimpin dari tujuh komunitas. Kemunculan Arumpone (Raja Bone), “ManurungE ri Matajang Mata SilompoE”, ditandai dengan gejala alam yang menakutkan dan mengerikan. Terjadi gempa bumi yang sangat dahsyat, kilat dan guntur sambar menyambar, hujan dan angin puting beliung yang sangat keras. Setelah keadaan itu reda, tiba - tiba di tengah padang luas muncul orang berdiri dengan pakaian serba putih. Karena tidak diketahui asal usul kedatangannya, maka orang menyebutnya ’Tomanurung’.
Adapun kesepakatan orang yang menganggapnya sebagai Tomanurung adalah untuk mengangkatnya menjadi Arung (raja) agar ada yang bisa memimpin mereka.
Orang banyak berkata, ”Kami semua datang ke sini untuk meminta agar engkau jangan lagi mallajang (menghilang). Tinggallah menetap di tanahmu agar engkau kami angkat menjadi arung (raja). Kehendakmu adalah kehendak kami juga, perintahmu kami turuti. Walaupun anak isteri kami engkau cela, kami pun mencelanya, asalkan engkau mau tinggal”.
Orang yang disangka To Manurung menjawab, ”Bagus sekali maksudmu itu, namun perlu saya jelaskan bahwa saya tidak bisa engkau angkat menjadi arung sebab sesungguhnya saya adalah hamba sama seperti engkau. Tetapi kalau engkau benar-benar mau mengangkat arung, saya bisa tunjukkan orangnya. Dialah arung yang saya ikuti”.
Orang banyak berkata, ”Bagaimana caranya kami mengangkat seorang arung yang kami belum melihatnya?”.
Orang yang disangka To Manurung menjawab, ”Kalau benar engkau mau mengangkat seorang arung , saya akan tunjukkan tempat – matajang (terang), disanalah arung itu berada”.
Orang banyak berkata, ”Kami benar-benar mau mengangkat seorang arung, kami semua berharap agar engkau dapat menunjukkan jalan menuju ke tempatnya”.
Orang yang disangka To Manurung (konon bernama Pua’ Cilaong dari Bukaka), mengantar orang banyak tersebut menuju kesuatu tempat yang terang dinamakan Matajang (berada dalam kota Watampone sekarang).
Di tempat yang dituju, nampaklah Tomanurung yang sesungguhnya duduk di atas batu besar dengan pakaian serba kuning dengan ditemani tiga orang yaitu : satu orang yang memayungi payung kuning, satu orang yang menjaganya dan satu orang lagi yang membawa salenrang.
Tomanurung berkata, ”Engkau datang Matowa ?”
MatowaE menjawab, ”Iye, Puang”.
Barulah orang banyak mengetahui bahwa yang disangkanya Tomanurung itu adalah seorang Matowa. Matowa itu mengantar orang banyak mendekati Tomanurung yang berpakaian serba kuning.
Berkatalah orang banyak kepada Tomanurung : ”Kami semua datang ke sini untuk memohon agar engkau menetap. Janganlah lagi engkau mallajang (menghilang). Duduklah dengan tenang agar kami mengangkatmu menjadi Arung. Kehendakmu kami ikuti, perintahmu kami laksanakan. Walaupun anak isteri kami engkau cela, kami pun mencelanya. Asalkan engkau berkenan memimpin kami”.
Tomanurung menjawab : ”Apakah engkau tidak membagi hati dan tidak berbohong?”
Setelah terjadi kontrak sosial antara Tomanurung dengan orang banyak, dipindahkanlah To Manurung ke Bone untuk dibuatkan salassa (rumah). Tomanurung tersebut tidak diketahui namanya sehingga orang banyak menyebutnya ManurungE ri Matajang. Kalau datang di suatu tempat dan melihat banyak orang berkumpul dia langsung mengetahui jumlahnya, sehingga digelar Mata SilompoE. Arumpone pertama ini kemudian kawin dengan ManurungE ri Toro yang bernama We Tenri Wale. Dari perkawinan itu lahirlah La Ummasa dan We Pattanra Wanua, beberapa riwayat menyebutnya ada lima bersaudara. Yang pertama kali dilakukan Manurunge ri Matajang adalah mappolo leteng (menetapkan hak - hak kepemilikan orang banyak), meredakan segala bentuk kekerasan dan melahirkan hukum adat (bicara) serta menentukan bendera kerajaan yang dinamai WoromporongE.
Setelah genap empat pariyama memimpin orang Bone, dikumpulkanlah seluruh orang Bone dan menyampaikan, ”Duduklah semua dan janganlah menolak anakku La Ummase’ untuk menggantikan kedudukanku. Dia pulalah nanti yang melanjutkan perjanjian antara kita”. Beberapa saat setelah mengucapkan kalimat perpisahan itu, dalam Lontaraq Akkarungeng ri Bone disebutkan munculnya kilat dan guntur saling menyambar diakhiri dengan menghilangnya (mallajang) ManurungE ri Matajang dan isterinya, ManurungE ri Toro dari tempat duduknya. Salenrang dan payung kuning turut pula menghilang membuat seluruh orang Bone heran dan takjub. (***)
B E R S A M B U N G . . . . .

Riwayat Raja Bone (2) : LA UMMASE


Gapura Bone (foto : google)
Dalam Lontaraq Akkarungeng ri Bone, La Ummase (1358 – 1424), disebutkan bahwa Dialah yang menggantikan ManurungE ri Matajang sebagai Arung Mangkaue ri Bone. Beliau digelari Petta Panre Bessie’ karena Arumpone (Bugis : Raja Bone) inilah yang mula-mula menciptakan alat dan perkakas dari besi di Bone dan kalau bepergian, hanya dinaungi dengan kaliyao (tameng) untuk melindunginya dari teriknya matahari. Hal ini dilakukan karena tidak ada lagi payung (maksudnya : payung kerajaan) di Bone. (Makkulau, 2009)
La Ummase’ Petta Panre Bessie’ sangat dicintai rakyatnya karena selain merakyat, juga memiliki berbagai kelebihan seperti berdaya ingat tajam, penuh perhatian, jujur, adil dan bijaksana. Dalam upayanya memperluas wilayah kekuasaannya, La Ummase’ menaklukkan wilayah – wilayah sekitarnya, Anro Biring, Majang, Biru, Maloi dan Cellu (Lontara Akkarungeng ri Bone). Politik ekspansinya berhasil menaklukkan kerajaan kecil tetangganya, “Maloi, Biru, Majang, Anrobiring, Cellu, Palakka dan Taneteriattang”. (Kasim, 2002)
Dengan diplomasi politik yang didukung kekuatan militer, La Ummase berupaya menduduki Palakka namun tidak berhasil. “Baginda ini pulalah, La Ummase, Raja Bone II (1362 – 1398) yang berselisih dengan iparnya dari saudara perempuannya We Patanra Wanua, raja tetangga kerajaannya yang paling dekat, yaitu La Pattikkeng Aru Palakka. Kurang lebih tiga bulan lamanya bertempur, tetapi tidak ada yang berhasil tampil sebagai pemenang”. (Kasim, 2002). Akhirnya berdamai kembali dan keduanya menyadari bahwa permusuhan tidak akan membawa keuntungan. Palakka dengan sendirinya nantinya menggabungkan diri dengan Bone.
Sasaran upaya perluasan wilayah kekuasaan Kerajaan Bone pada tahap awal itu ditujukan ke arah pantai Teluk Bone (Cellu, Maloi, dan Anrobiring yang terletak di pantai barat Teluk Bone). Cellu pada masa itu menguasai Bandar yang sekarang menjadi Pelabuhan BajoE. Penguasaan atas daerah pantai ini, sangat strategis artinya, dilihat dari segi politik dan sosial ekonomi. Karena suatu Negara tanpa Bandar niaga laut akan terisolasi dari dunia luar. (Kasim, 2002).
La Ummasa tidak memiliki putra mahkota yang kelak bisa menggantikan kedudukannya sebagai Mangkau’ di Bone. Dia hanya memiliki anak perempuan, To Suwalle dan To Sulewakka dari isterinya yang berasal dari to sama’ (orang biasa, bukan bangsawan). Oleh karena itu, setelah dia tahu bahwa We Pattanra Wanua akan melahirkan, La Ummasa menyuruh anaknya pergi ke Palakka ke rumah saudaranya yang diperisterikan oleh Arung Palakka La Pattikkeng. Kepada anaknya To Suwalle dan To Sulewakka, La Ummasa berpesan, ”Kalau Puangmu telah melahirkan, maka ambil anak itu dan bawa secepatnya kemari. Nanti di sini baru dipotong ari - arinya dan ditanam tembuninya”.
Tidak berapa lama lahirlah anak laki - laki sehat dan memiliki rambut yang tegak ke atas (Bugis : karang) sehingga dinamakanlah Karampelua. Ketika anaknya dibawa ke Bone, Arung Palakka La Pattikkeng tidak ada di tempat dan tindakan La Ummase’ itu menyakitkan hatinya. Sesampainya di istana Arumpone, bayi tersebut barulah dipotong Ari - arinya dan dicuci darahnya. Bayi itu kemudian dipelihara oleh saudara perempuan Arumpone yang bernama We Samateppa.
Arumpone La Ummase mengundang seluruh rakyatnya untuk datang berkumpul dan membawa senjata perang. Keesokan harinya berkumpullah seluruh rakyat lengkap dengan senjata perangnya. Dikibarkanlah bendera Woromporonge’ dan turunlah Arumpone di Baruga menyampaikan, ”Saya undang kalian untuk mendengarkan bahwa saya telah mempunyai anak laki-laki yang bernama La Saliyu Karampelua. Mulai hari ini saya menyerahkan kedudukan saya sebagai Arumpone. Dan kepadanya pula saya serahkan untuk melanjutkan perjanjian yang pernah disepakati antara Puatta ManurungE ri Matajang dengan orang Bone”. Seluruh orang Bone mengiyakan kemudian angngaru’ (menyatakan ikrar setia).
Dilantiklah La Saliyu Karampelua kecil oleh pamannya La Ummase’ menjadi Arumpone. Acara pelantikan itu berlangsung selama tujuh hari tujuh malam. Setelah itu dinaikkanlah La Saliyu Karampelua ke LangkanaE sejak dilantiknya menjadi Arumpone. Gelar Matinroe (nama setelah meninggal) La Ummase’ sepeninggalnya Petta To Mulaiye Panreng yang artinya raja yang mula-mula dikuburkan. (Makkulau, 2009) (***)
B e r s a m b u n g . . . . .
Riwayat Raja Bone (3): La Saliyu Karempalua



Peta wilayah Bone saat ini (foto : google)
MASIH bayi sudah menjadi raja negeri besar. Inilah yang terjadi pada diri Karempalua karena sudah menjadi ketetapan pamannya, Raja Bone II La Ummase’. Dalam Lontaraq Akkarungeng ri Bone disebutkan bahwa La Saliyu Karempalua (1424 – 1496) adalah Arumpone (Raja Bone) yang menggantikan pamannya, La Ummase’. Kedudukannya ini diterima dari pamannya sejak berusia satu malam (masih bayi). Kalau ada sesuatu yang akan diputuskan maka To Suwalle yang memangkunya menjadi juru bicaranya. Kemudian yang bertindak selaku Makkedangen Tana (Perdana Menteri) adalah To Sulewakka.
Ketika memasuki usia dewasa, barulah La Saliyu Karampelua mengunjungi orang tuanya di Palakka. Sesampainya di Palakka, kedua orang tuanya sangat gembira dan diberikanlah pusakanya yang menjadi miliknya, juga Pasar Palakka. Sejak itu orang Palakka tidak lagi berpasar di Palakka tapi pindah ke Bone. La Saliyu Karampelua dikenal sangat mencintai dan menghormati kedua orang tuanya. Ata’ alena (hamba sendirinya) dikeluarkan dari Saoraja (istana) dan ditempatkan di Panyula. Sementara hamba yang didapatkan setelah menjadi Arumpone di tempatkan di Limpenno. Orang Panyula dan orang Limpennolah yang mempersembahkan ikan. Dia pula yang menjadi pendayung perahunya dan pengusungnya jika Arumpone ini bepergian jauh.
La Saliyu Karampelua sangat dicintai oleh rakyatnya karena memiliki sifat - sifat rajin, jujur, cerdas, adil dan bijaksana. Ia juga dikenal pemberani dan tidak pernah gentar menghadapi musuh. Konon sejak masih bayi tidak pernah terkejut bila mendengarkan suara - suara besar dan aneh. Arumpone ini dikawinkan orang tuanya dengan sepupunya yang bernama We Tenri Roppo, ana’ pattola (putri mahkota) Arung Paccing. Dari perkawinan itu lahirlah We Banrigau Daeng Marowa dan We Pattana Daeng Mabela MakkaleppiE Arung Majang. Oleh Arumpone Petta Karempalua, sebagian orang Bukaka dibawa ke Majang untuk menjadi rakyat MakkaleppiE yang kemudian mendirikan Sao LampeE ri Bone, yang diberinya nama Lawelareng. Sehingga digelari pula MakkaleppiE – Massao LampeE Lawelareng atau Puatta Lawelareng.
Raja Bone III ini melanjutkan kegiatan ekspansi yang telah dirintis pendahulunya, bahkan lebih besar dan berhasil menduduki kerajaan – kerajaan kecil, seperti : Pallengoreng, Sinri, Melle, Sancereng, Cirowali, Apala, Bakke, Atta Salo, Soga, Lampoko, Lemoape, Parippung, Lompu, Limampanua Rilau Ale, Babauwae, Barebbo, Pattiro, Cinennung, Ureng, Pasempe, Kaju, Ponre, dan Aserabate Riawang Ale.
Data tersebut menunjukkan bahwa Bone pada masa itu telah menguasai wilayah yang cukup luas (menurut ukuran pada masa itu), sehingga organisasi pemerintahan perlu pula ditingkatkan. Untuk itu La Saliu membagi wilayah pemerintahan Kerajaan Bone menjadi tiga wilayah administratif, sesuai dengan pembagian warna bendera Kerajaan Bone. Pertama, Negeri – negeri yang memakai bendera Woromporongnge’ : Matajang, Mattoanging, Bukaka Tengah, Kawerrang, Pallengoreng, Maloi. Semuanya dibawah koordinasi Matoa Matajang. Kedua, Negeri – negeri yang memakai umbul merah di sebelah kanan Woromporongnge’ : Paccing, Tanete,. Lemo, Masalle, Macege, Belawa, Semuanya dibawah koordinasi Kajao Ciung dan Ketiga, Negeri – negeri yang memakai umbul merah di sebelah kiri Woromporongnge’ : Arasong, Ujung, Ponceng, Ta’, Katumpi, Padaccennga, Madello. Semuanya dibawah koordinasi Kajao Arasong”. (Lontaraq Akkarungeng ri Bone ; Kasim, 2002)
Pembagian tersebut menunjukkan struktur organisasi pemerintahan Kerajaan Bone dibawah La Saliyu Petta Karempalua. Dengan membagi Bone atas tiga wilayah, berarti telah meletakkan pola desentralisasi pemerintahan sesuai dengan tuntutan pragmatis luasnya wilayah kekuasaan Kerajaan Bone pada masa itu. Menurut Prof Mr. Muhammad Yamin, “Raja Bone Petta Karempalua adalah Raja Bone pertama yang menetapkan pemakaian bendera merah putih sebagai bendera Kerajaan Bone” . Muhammad Yamin menulis bahwa pada tahun 1398 – 1470, Raja Bone bernama Kerampalua mengibarkan bendera merah putih, yaitu Bendera Woromporong berwarna merah dan umbul – umbul pinggirnya di kiri – kanan berwarna putih, cellae riaya tau cellae ri abeo”. Fakta ini menurutnya menunjukkan bahwa Kerajaan Bone telah meletakkan pola dasar yang kuat untuk menjadikan ”Bendera Merah Putih” sebagai bendera negara. (Kasim, 2002 dalam Makkulau, 2009).
Kerajaan – kerajaan yang telah menyatakan diri menjadi bagian wilayah kerajaan Bone, dan tidak termasuk ke dalam salah satu wilayah koordinatif tersebut, mereka dijadikan wanua palili dengan status otonom. Kerajaan – kerajaan otonom yang berstatus wanua palili Bone antara lain : Kaju, Pattiro, Lima Wanua Rilau Ale. Kerajaan Palakka diperintah langsung oleh Raja Bone III ini karena Palakka adalah kerajaan pusaka dari ayahnya, La Pattinkeng. (Kasim, 2002).
Seiring perkembangan Kerajaan Bone, peraturan pertanahan dan hukum warisan diumumkan secara resmi pada waktu bersamaan untuk menjamin stabilitas hubungan di dalam komunitas (Matthes 1864, vol.1 : 466 – 68 dalam Andaya, 2006). Penguasa - penguasa berikutnya disebut telah meletakkan dasar bagi kemakmuran ekonomi. Penguasa ketiga Bone, La Saliyu Petta Karampelua, disanjung karena usahanya dalam meningkatkan jumlah tanah garapan dan pengetahuannya untuk urusan – urusan kerajaan (Matthes, 1864, vol. 1 : 471-2 ; Bakkers 1866 : 176-7 dalam Andaya, 2004).
Dalam Lontaraq Akkarungeng ri Bone, disebutkan bahwa La Saliyu Karampeluwa tiga bersaudara. Saudara perempuannya yang bernama We Tenri Pappa kawin dengan La Tenri Lampa Arung Kaju melahirkan La Tenri Bali (suami We Banrigau), sedangkan saudara perempuannya yang bernama We Tenri Roro kawin dengan La Paonro Arung Pattiro, lahirlah La Settia Arung Pattiro yang selanjutnya kawin dengan We Tenri Bali.
Anak La Saliyu Karampeluwa dari isterinya yang bernama We Tenri Arung Amali yaitu La Mappasessu kawin dengan We Tenri Lekke’. Anak La Saliyu Karampeluwa dengan isterinya We Tenri Roppo Arung Paccing, adalah We Banrigau Daeng Marowa MakkaleppiE kawin dengan sepupunya yang bernama La Tenri Bali Arung Kaju. Dari perkawinan itu lahirlah La Tenri Sukki, La Panaungi To Pawawoi Arung Palenna, La Pateddungi To Pasampoi, La Tenri Gora Arung Cina juga Arung di Majang, La Tenri Gera’ To Tenri Saga, La Tadampare (meninggal dimasa kecil), We Tenri Sumange’ Da Tenri Wewang, We Tenri Talunru Da Tenri Palesse. (Lontaraq Akkarungeng ri Bone).
Setelah genap 72 tahun menjadi Arung Mangkaue’ ri Bone, dikumpulkanlah seluruh orang Bone dan menyampaikan bahwa, ”Saya mengumpulkan kalian untuk memberitahukan bahwa mengingat usia sudah tua dan kekuatan saya sudah semakin melemah, maka saya bermaksud menyerahkan kekuasaan sebagai Arung Mangkau’ di Bone kepada pengganti saya, We Banrigau Daeng Marowa MakkaleppiE”. Mendengar itu, semua orang Bone menyatakan setuju. Maka dikibarkanlah bendera WoromporongE. Setelah itu berkata lagi Arumpone, ”Di samping itu, saya menyerahkan kekuasaan dan perjanjian yang telah disepakati oleh orang Bone dengan Puatta Mulaiye Panreng untuk dilanjutkan oleh anak saya”. Setelah orang Bone kembali, hanya satu malam saja setelah menyampaikan pewaris takhtanya, Arumpone Petta Karempalua meninggal dunia. (***)

Sumber :
https://www.facebook.com/permalink.php?story_fbid=217215005043047&id=174778575953357

Baca Juga :
http://beritaparepare.blogspot.com/2013/12/silsilah-keturunan-kerajaan-bacukiki.html

http://beritaparepare.blogspot.com/2014/01/silsilah-kerajaan-sidenreng-menurut.html
http://beritaparepare.blogspot.com/2014/01/permainan-rakyat-bugis.html

Silsilah Kerajaan Sidenreng

Silsilah Kerajaan Sidenreng Menurut "Buku Panduan Maccera Arajang"

beritaparepare.blogspot.com Sidenreng- Dalam buku Panduan Maccera Arajang di Massepe Tahun 2006, dijelaskan bahwa Kerajaan Sidenreng dan Kerajaan Rappang adalah kerajaan kembar yang diperintah oleh 2 orang Raja, kakak beradik, oleh karena tidak ada batas yang tegas yang memisahkan kedua wilayah kerajaan tersebut. Lontaraq hanya menggambarkan bahwa penduduk Kerajaan Sidenreng dan Kerajaan Rappang hanya dapat dibedakan pada waktu panen. Yang menyangkut padinya ke utara, itulah rakyat Kerajaan Rappang, sedangkan yang menyangkut padinya ke selatan itulah rakyat Kerajaan Sidenreng.

Selain itu, kedua rajanya juga membuat ikrar, yaitu Mate Elei Rappang, Mate Arawengngi Sidenreng. Mate Arawengngi Rappang, Mate Elei Sidenreng. Yang berarti Mati Pagi Rappang, mati sore Sidenreng. Mati sore Rappang, Mati Pagi Sidenreng.

Ada versi yang mengatakan bahwa Kerajaan Sidenreng dan Kerajaan Rappang berasal dari
Tomanurung, seperti halnya mitos raja-raja yang memerintah di berbagai kerajaan di Sulawesi Selatan. Dalam versi lain, asal mula Sidenreng berasal dari sebuah kelompok dari Sangalla, Tana Toraja, yang meninggalkan daerahnya akibat kezaliman Rajanya, La Maddaremmeng, yang tidak lain adalah saudara dari mereka sendiri. Rombongan tersebut dipimpin oleh 8 bersaudara yang terdiri dari; La Wewangriu, La Togelipu, La Pasampoi, La Pakolongi, La Pababbari, La Panaungi, La Mappasessu dan La Mappatunru. Menilik dari nama-nama mereka tersebut yang tidak bercirikan nama Toraja, maka diduga mereka itu bukanlah penduduk asli Sangalla (Toraja), melainkan mungkin berasal dari Kerajaan Luwu. Hal ini diperkuat oleh sebuah sumber yang mengatakan bahwa Sangalla pada zaman dahulu pernah berada dibawah Payung Kerajaan Luwu. Pemberian nama Sidenreng adalah untuk memperingati awal mula kedatangan mereka ditempat itu pada saat berbimbingan tangan mendatangi danau untuk mandi dan mengambil air. Tempat itu sekarang disebut Kampung Sidenreng. Namun daerah batu itu disebut sebagai Tanae Aja Tappareng oleh orang Wajo, Soppeng dan Bone. Dimana Tanae Aja Tappareng berarti daerah yang berada di sebelah barat danau, yang sekarang dikenal dengan nama Danau Sidenreng. Kemudian di daerah Aja Tappareng ini terbentuk 5 kerajaan, yaitu Sidenreng, Rappang, Sawitto, Suppa dan Alitta. Kerajaan-kerajaan ini yang sesungguhnya disebut Lima Aja Tappareng. Sekarang Lima Aja Tappareng ini nampaknya diperluas wilayahnya yang meliputi bekas afdeling Pare-pare, yakni Kabupaten Barru, Kota Madya Pare-pare, Kabupaten Pinrang, Kabupaten Sidrap dan Kabupaten Enrekang.

  1. La Mallibureng, Addaowang I. Versi lain mengatakan bahwa Addaowang I Sidenreng adalah Manurungnge ri Lowa (Bululowa)
  2. La Pawawoi, Addaowang II, anak dari La Mallibureng. Versi lain mengatakan Songkopulawengnge, anak dari Manurungnge ri Lowa
  3. La Makkarakka, Addaowang III, anak dari La Pawawoi
Pada masa pemerintahan Addaowang III Sidenreng, La Makkarakka, maka dalam rangka mengatur kehidupan sosial masyarakatnya, kemudian bermufakatlah raja, pemangku adat dan masyarakat untuk menetapkan suatu kebijakan umum pemerintahan yang dalam lontaraq disebut Ade Puronrona Sidenreng, yang terdiri dari 5 (lima) pasal, yaitu :
  • Ade Mappuronro, maksudnya adat yang tetap utuh (tidak berubah)
  • Wari Rialitutui, yaitu kebiasaan-kebiasaan baik harus dipelihara
  • Janci Rippeaseri, artinya janji harus dipegang teguh/tidak diingkari
  • Rapang Ripasanre, maksudnya semacam yurisprudensi
  • Agama Ritarenre Maberre, yakni agama harus diagungkan
Selain Ade Puronrona Sidenreng, Addaowang III Sidenreng juga menetapkan aturan-aturan yang harus ditaati, yang disebut Taro Bicarana Sidenreng yang merupakan ketentuan pelaksanaan dari pada Ade Puronrona Sidenreng, yaitu :
  • Maluka Taro Ade, Temmaluka Taro Anang, yaitu keputusan adat bisa berubah, tetapi keputusan keluarga tidak dapat dirubah
  • Maluka Taro Anang, Temmaluka Taro Maranang, yaitu keputusan keluarga dapat berubah tetapi kesepakatan keluarga besar atau masyarakat tidak dapat dirubah
Setelah ditetapkan kebijakan pokok dan aturan hukum tersebut, maka raja, pemangku adat dan masyarakat membuat perjanjian atau ikrar, yang dalam bahasa lontaraq disebut Assijanciangenna Arungnge Sibawa AdeE Neniya PabbanuaE. Adapun ikrar tersebut diucapkan pada saat penobatan Addaowang III Sidenreng La Makkarakka, yaitu sebagai berikut :

  • IKRAR RAJA
E….Sininna PabbanuaE ri Sidenreng, Issengngi Sininna Atoreng Pura RipattentuE Temmakkeinai, Temaakke Amai, Temmakke Anai. Mappenigi-nigi Temmappe Niga-niga. Adakku Nenniya Eloku Tongeng. Iyami Nade Natongeng Narekko Natumpai AdeE
Artinya : Hai semua rakyat Sidenreng ! ketahuilah bahwa semua aturan yang telah ditetapkan, tidak memandang ibu, bapak atau anak, tidak ada pengecualian. Ucapanku dan kehendakku yang benar hanya bisa salah kalau melanggar adat.

  • IKRAR PEMANGKU ADAT
Malilu Ipakainge, Rebba Sipatokkong, Mali Siparappa, Tasi Akkoling-kolingeng.. Mauni Massorong Pawo, Nakkasolang ri PabbanuaE Napagilingngi AdeE
Artinya : Saling mengingatkan dalam kekeliruan, saling mengangkat bila jatuh, saling memintasi bila hanyut, hubungan baik tetap dipelihara, meskipun kehendak dari atas (Raja), tetapi dapat merusak orang banyak, maka adat harus membetulkan.

  • IKRAR RAKYAT
Tenri Cacca MupojiE (Raja), Tenri Poji MucaccaE. Anging-ko ki-raukkaju, salokko naki batang. Lompo-lompo mutettongi. Lompo-lompo kilewo-ilewo. Bulu-bulu mulettongi bulu-bulu ki lewo-lewo. Makkedako mutenri bali, mettekko mutenri sumpala
Artinya : Takkan kami tolak yang engkau sukai, takkan kami sukai yang engkau tolak. Ibarat engkau arus, maka kami batang yang hanyut. Jika lembah tempatmu (Raja) berpijak, maka lembah jua yang kami pagari. Jika bukit tempatmu berpijak, maka bukit itu pula yang kami pagari. Perintahmu kami ikuti, sabdamu kami patuhi.

4. We Tipulinge, Addaowang IV, putri dari La Makkarakka
5. We Pawawoi, Addaowang V, putri We Tipulinge dengan Manurungnge Bacukiki, La Bangenge
6. La Batara, Addaowang VI, putra dari We Pawawoi
7. La Pasampoi, Addaowang VII, putra dari La Batara
8. La Pateddungi, Addaowang VIII, putra dari La Pasampoi. Raja ini didampingi seorang cendekiawan/penasehat yang bernama La Pagala/Nene Mallomo, yang ahli dalam bidang hukum, pemerintahan dan ekonomi. Ia meninggal Tahun 1654 M di Allakuang. Salah satu mottonya yang menjadi motivasi kerja adalah Resopa Temmangingngi Namollomo Naletei Pammase Dewata
9. La Patiroi, Addaowang IX, putra dari La Pateddungi. Pada masa pemerintahan La Patiroi, Tahun 1634 H, sekelompok orang Wani dari Wajo yang meninggalkan daerahnya karena diminta oleh Arung Matoa Wajo untuk memeluk agama Islam, padahal mereka tidak sudi meninggalkan kepercayaan nenek moyangnya. Merekapun minta izin tinggal disekitar Amparita. Oleh La Patiroi menerima permohonan mereka, dengan syarat harus mematuhi Ade Puronrona Sidenreng. Kemudian masyarakat ini diberi nama Tolotang, yang berasal dari kata Tau Lautang, yang berarti orang yang bermukim di sebelah selatan. Sekarang orang menyebutnya Towani Tolotang.
10. We Abeng, Tellu Latte I Sidenreng, anak dari La Patiroi. Inilah yang pertama membangun Istana Tellu Latte, yang mungkin dapat dipersamakan dengan sebuah otorita.
11. La Makkarakka, Addatuang I Tahun 1634-1671 M, anak dari La Patiroi
12. La So’ni Karaeng Massepe, Addatuang II, putra dari La Makkarakka. Raja ini pernah mencatat sejarah berupa hubungan yang baik antara Sidenreng dengan Bone. Pada waktu Raja Bone La Tenri Tatta, Arung Palakka berperang dengan Gowa dibawah pimpinan I Mappaosong Daeng Mangewai Karaeng Be’si, anak dari I Mallombasi Sultan Hasanuddin Tahun 1675 M. Pada waktu itu Bone nyaris kalah karena seorang panglima yang bernama Betta Senrimana Belo gugur dalam perang tersebut. Maka La Tenri Tatta minta bantuan kepada La So’ni dan berhasil mengalahkan Gowa. Atas jasa-jasanya tersebut, maka La Tenri Tatta menghadiahkan sebilah keris kepada La So’ni, yang kemudian La So’ni digelari Lamba Sidenreng. Keris ini menjadi lambang keperkasaan Sidenreng. Dan sejak itu, Addatuang La So’ni, Lamba Sidenreng diserahterimakan pada setiap peralihan Addatuang sampai pada Addatuang terakhir, yaitu La Cibu. Jadi Lamba Sidenreng menjadi Arajang, simbol pemersatu masyarakat Sidenreng Rappang. Kedekatan La So’ni dengan Raja Bone tersebut mengundang rasa iri anggota Hadat Bone, sehingga ia berusaha menyingkirkan La So’ni dari sisi La Tenri Tatta dengan cara menyebarkan fitnah bahwa La So’ni telah berselingkuh dengan salah seorang istri La Tenri Tatta yang bernama I Sarampa. Hal ini pun sampai ke telinga Raja Bone yang menyebabkan beliau amat murka. Iapun memerintahkan seorang algojonya dari Lise yang bernama Janggo Pance untuk membunuh La So’ni dengan cara memenggal lehernya. Ketika Janggo Pance menyampaikan perintah itu kepada La So’ni, ia pun meminta agar sebelum dibunuh disampaikan dulu pesannya kepada Torisompae (La Tenri Tatta) sebagai berikut : Pauwangngi Puang ri Boneta, engkanaga tolebba pole makkeda cappuni sawung kannae naribattajeng ewangngenge nariroppo wala-walae narilebbo manu katiangnge. Tennaengngerrani siya labela riwettunna tudang caradang-kadang riturungeng massamoe. Salo-salo tenna jongkari, padang-padang tennaliweng, La So’ni-mi Karaeng Massepe betta massola-solai resoi alena mangaru ritengngana padang cukkaE.
Maksudnya : sampaikan kepada Raja Bone yang dipertuan, apakah ada orang sirik yang menyampaikan bahwa perang sudah selesai, sehingga ayam laga yang andal hendak dibinasakan. Apakah tidak diingat lagi, ketika menghadapi musuh besar (Gowa), La So’ni-mi Karaeng Massepe sang pemberani tampil dalam peperangan mengamuk ditengah medan laga yang berkecamuk.

Akan tetapi Janggo Pance tidak menghiraukan lagi ucapan La So’ni dan ia tetap melaksanakan tugas memenggal leher La So’ni yang teguh memegang adat Polopang-Polopanni Narekko Elona Toriase’ta, yang berarti menerima tanpa syarat kalau itu kemauan/perintah dari Raja.

Kepala La So’ni kemudian diantar menghadap Torisompae (La Tenri Tatta). Akan tetapi kepala La So’ni tidak mau menghadap. Tiga kali diputar menghadap namun kembali membelakangi Mankaue. Janggo Pance dan anggota Hadat mulai ketakutan. La Tenri Tatta pun bertanya : Apa gerangan yang terjadi ?. Janggo Pance pun berterus terang bahwa ada pesan almarhum yang tidak dihiraukan. Setelah mendengar pesan La So’ni, maka La Tenri Tatta menjadi amat murka karena mengetahui bahwa La So’ni adalah korban fitnah. Sebagai imbalannya maka Janggo Pance harus dibunuh pula tujuh turunan. La Tenri Tatta kemudian mengantar kepala La So’ni ke Massepe untuk dimakamkan.

13. Todani, Addatuang III, sepupu sekali La So’ni
14. La Tenri Tatta, Addatuang IV, anak Taranatie dengan We Mappanyiwi, cucu We Abeng, Tellu Latte I
15. La Mallewai, Addatuang V, anak dari La Tenri Tippe
16. Bau Rukiyah, Addatuang VI, putri dari La Mallewai
17. Taranatie, Addatuang VII, anak dari Irukiya dengan Toaggamette
18. Towappo, Addatuang VIII, saudara kandung Taranatie
19. La Wawo, Addatuang IX, anak dari Towappo, Matinroe ri Soreang pada 1837 M.
20. La Panguriseng, Addatuang X/Arung Rappang XIX, anak dari Muhammad Arsyad Petta Cambangnge
21. Sumangerukka, Addatuang XI, 1889-1904 M, anak dari La Panguriseng dengan I Bangki, Arung Rappang XVIII
22. La Sadapotto, Addatuang XII, 1904-1906, saudara kandung Sumangerukka
23. La Cibu, Addatuang XIII dan terakhir, anak dari La Sadapotto


Baca juga :
  • http://beritaparepare.blogspot.com/2013/12/silsilah-keturunan-kerajaan-bacukiki.html 
  • http://beritaparepare.blogspot.com/2014/01/permainan-rakyat-bugis.html

Sumber : http://bugissidenreng.blogspot.com/2010/12/silsilah-kerajaan-sidenreng-menurut.html

Penemuan Ikan Monster Di Parepare

beritaparepare@blogspot.com PAREPARE - Warga Kelurahan Watang Soreang, Kecamatan Soreang, Kota Parepare, Sulawesi Selatan, digegerkan dengan penemuan seekor ikan aneh yang terdampar di Pantai Cempae, kemarin.

Menurut pengakuan warga setempat, mereka baru melihat jenis ikan seberat sekira 200 kilogram yang menyerupai perpaduan antara ikan pari dan ikan buntal tersebut.

Sejumlah warga yang mendengar informasi adanya penemuan ikan aneh tersebut langsung berbondong-bondong ke Pantai Cempae untuk melihat penampakan ikan berbentuk bulat menyerupai perpaduan antara ikan pari dan ikan buntal, namun tak memiliki ekor itu.

Di kedua sisi ikan terdapat sirip berwarna gelap dan bertutul, sementara panjang ikan diperkirakan satu meter dan lebar setengah meter lebih. Warga memperkirakan berat ikan ini mencapai dua ratus kilogram. Pasalnya, ikan ini tak bisa diangkat oleh 10 orang.

Parman, warga setempat mengaku baru melihat ikan jenis ini. Pasalnya, selama bertahun-tahun menjadi nelayan baru kali ini melihat ikan yang berbentuk aneh. Dia lantas menyimpulkan ikan ini merupakan ikan langka. Tak heran jika banyak warga yang datang hanya untuk meliat langsung bahkan mengabadikannya dengan kamera ponsel.

Hingga kini warga belum memutuskan akan diapakan ikan temuan mereka. Pasalnya warga takut jika mengkonsumsi ikan tersebut akan mengalami keracunan. Akibatnya, warga hanya membiarkan ikan tersebut mati.






Rabu, 01 Januari 2014

PERMAINAN RAKYAT BUGIS

Dapat dikatakan bahwa hampir semua permainan rakyat tradisional Bugis dilakukan setelah panen. Hal tersebut dikarenakan oleh waktu panen yang hanya dilakukan sekali dalam setahun. Dan untuk mengisi waktu lowong yang cukup panjang maka lahirlah berbagai macam permainan rakyat.

1. MARRAGA
Marraga/Mandaga adalah bahasa Bugis yang didalam bahasa Indonesia dikenal dengan nama bermain atau bersepak raga. Penamaan ini berasal dari jenis peralatan permainan yang digunakan yaitu raga. Adapun istilah raga bersumber dari makna dan fungsi permainan, yaitu siraga-raga artinya saling menghibur. Pada zaman dahulu, seorang pemuda belum bias menikah jikalau belum mahir bermain raga. Seorang ahli permainan raga merupakan kebanggaan dan dikagumi masyarakat yang berarti turut meningkatkan status sosial seseorang.
Raga yaitu sejenis bola yang terbuat dari rotan yang dibelah-belah, diraut halus kemudian dianyam, umumnya berukuran dengan diameter sekitar 15 cm.
Asal usul permainan raga sehingga dikenal di daerah Sulawesi Selatan, diperkirakan berasal dari Malaka atau pulau Nias. Sehubungan dengan ini, W. Kaudren (Games and Dances In Celebes, 1927), secara tegas meragukan bahwa berasal dari Malaka, dengan alas an masyarakat tradisional yang ada di Malaka tidak mengenal permainan ini. Dia lebih cenderung pada pendapat bahwa permainan ini berasal dari daerah pantai barat Sumatera yaitu pulau Nias, karena daerah tersebut umumnya penduduk mengenal permainan ini. Pada mulanya permainan raga hanya dilakukan oleh kalangan bangsawan Bugis saja, namun didalam perkembangannya selanjutnya dapat dilakukan oleh masyarakat luas. Ada dua hal yang merupakan unsure pokok permainan raga yaitu Sempek atau sepak dan belo yakni variasi.

2. MAGGASING
Penamaan permainan ini bersumber dari peralatan pokok yang digunakan dalam bermain yaitu Gasing. Asal usul permainan ini belum dapat dipastikan benar, namun dugaan yang paling kuat berasal dari Sumatera, sebagaimana yang dikemukakan oleh Kauderen dan Matthes dalam bukunya “Tot Bijdragen De Ethnologie Van Zuid Celebes”. Bahwa kemungkinan permainan ini berasal dari Sumatera, kemudian berkembang ke daerah-daerah lainnya sesudah Islam melalui hubungan dagang. Khususnya di Sulawesi Selatan kemungkinan ini dapat diterima karena sejak lama telah terjadi kontak dengan orang-orang Melayu, khususnya Sumatera.

3. MACCUKE
Berasal dari bahasa Bugis yaitu Cukke yang artinya ungkit, yang dengan demikian Maccukke berarti bermain ungkit. Permainan cukke termasuk permainan musiman yang umumnya dilakukan sedudah panen sampai pada waktu menjelang turun ke sawah dan dilakukan pada siang hari.

4. MAGGALACENG
Permainan dilakukan malam sampai pagi hari sebagai acara rangkaian perkabungan, dimana penyelenggaraannya berlangsung sampai pada upacara pemasangan batu bata dan nisan kuburan orang yang meninggal yang didaerah Bugis disebut dengan Matampung. Maggaleceng biasanya berlangsung selama tujuh malam , 40 malam ataukah 100 malam jika yang berkabung adalah keluarga raja. Dengan melihat suasana permainannya menunjukkan bahwa permainan ini juga berfungsi untuk menghibur keluarga yang berkabung dan selama berjaga-jaga supaya tidak mengantuk. Pada zaman dahulu, oleh masyarakat tradisional Bugis, permainan ini termasuk jenis permainan sakral, berhubungan dengan nuansa magis.

5. MASSAUNG MANUK
Berasal dari kata saung yang berarti sabung dan manuk yang berarti ayam. Dilakukan untuk memeriahkan pesta-pesta adat misalnya perkawinan, pelantikan raja-raja, pesta panen dan sewaktu mengeringkan padi di lapangan. Pada waktu silam, permainan ini merupakan kegemaran kaun bangsawan pada umumnya dan juga dapat disaksikan oleh masyarakat umum. Dikalangan raja-raja terkadang mengadakan pertandingan antar kerajaan, yaitu dengan mengundang raja-raja disekitarnya. Sehubungan dengan kepercayaan masyarakat tradisional, maka yang disabung bukanlah ayam sembarangan. Tetapi yang telah dimantra atau jampi-jampi dan dirawat dengan cermat. Usia permainan ini sudah sangat tua dan dijumpai hamper diseluruh nusantara. Menurut cerita rakyat Bugis, bahwa dahulu kala yang disabung adalah manusia, yang diselenggarakan oleh kalangan raja-raja/bangsawan sebagai hiburan sekaligus untuk mendapatkan Tobarani (pemberani). Tetapi dikemudian hari karena dianggap terlalu kejam dan merendahkan martabat manusia, maka diganti dengan ayam. Masyarakat tradisional Bugis berkeyakinan bahwa dengan senantiasa melihat pertandingan dan darah, maka akan menambah keberanian dan kesaktian.

6. MAGGALAE
Merupakan sejenis permainan yang menggunakan Kaddaro atau tempurung kelapa. Pada zaman dahulu, permainan ini umumnya dilakukan sesudah panen dan juga pengisi waktu senggang di kala pagi hari atau sore hari. Permainan ini tidak didasarkan pada latar belakang stratifikasi sosial dan karenanya sangat merakyat dalam masyarakat tradisional.

7. MALLOGO
Penamaannya bersumber dari peralatan utama bermain yaitu Logo (berbentuk cangkul). Bentuknya yang seperti cangkul mencerminkan nilai budaya Bugis yang bersandar pada kehidupan agraris. Biasanya dilakukan sesudah panen dan juga pada waktu senggang lainnya. Logo terbuat dari tempurung kelapa yang berkualitas baik dan berbentuk segitiga yang ujung-ujungnya ditumpulkan.

8. MASSALO
Pada mulanya dimainkan pada malam hari kala bulan purnama setelah panen usai dan selanjutnya dilakukan pada waktu senggang lainnya. Permainan ini merupakan permainan rakyat pada umumnya untuk anak-anak belasan tahun dan kadang-kadang juga dilakukan oleh para remaja.

9. MABBANGNGAK
Merupakan permainan musiman yaitu setelah panen kemiri, namun selama masa pati ngelle yaitu sesudah padi dituai sampai turun sawah berikutnya. Juga senantiasa diadakan karena umumnya anak-anak/remaja yang hobi memiliki persiapan kemiri, khususnya bagi anak-anak gembala dijadikan pengisi waktu senggang. Permainan ini merupakan permainan dari golongan masyarakat biasa atau rakyat kecil, dimana kehadiran dan perkembangan permainan ini ditunjang oleh keadaan alam masyarakat Bugis, terutama mereka yang hidup dan bermukim di daerah-daerah pertanian/perkebunan. Perlengkapan permainan terdiri atas buah kemiri, yang dalam bahasa Bugis disebut Pelleng.

10. MALLONGNGAK
Berasal dari kata longak yaitu nama mahluk halus sejenis jin yang bentuk badanya sangat tinggi, dimana kata longak diartikan juga dengan tinggi atau jangkung. Sehubungan dengan penamaannya ini, DR. B. F. Matthes didalam bukunya “Bijdragen Tot De Ethnologie Van Zuid Celebes”, mengemukakan bahwa kemungkinan Mallongnga berasal dari nama seorang raksasa. Merupakan permainan yang digemari rakyat pada umumnya karena cukup menarik, dengan melihat bentuk dan cara bermain, termasuk jenis permainan olahraga. Sehubungan dengan fungsi Mallongnga, DR. B. F. Matthes, berdasarkan hasil penelitiannya, mengemukakan bahwa kemungkinan dahulu permainan ini merupakan salah satu bentuk pertunjukan upacara. Didalam kehidupan masyarakat tradisional Bugis dimasa silam, penyelenggaraan permainan ini berkaitan dengan problema magis yang tentunya tidak terlepas dari kepercayaan masyarakat yang mistik religius. Antara lain dapat dilihat dalam fungsi permainan yang dianggap sebagai penangkal penyakit. Apabila disuatu kampung terdapat penyakit yang merajalela, maka tujuh orang pria dari kampung tersebut dengan berpakaian putih semacam talqun, Malongak mengitari kampung selama tujuh kali dengan maksud mengusir roh jahat yang menyebabkan wabah tersebut. Dengan cara ini mereka yakin bahwa Longngak yaitu mahluk halus yang dianggapnya baik itu akan turut membantu mereka. Didalam perkembangan selanjutnya, terutama setelah ajaran-ajaran Islam tersebar luas dalam masyarakat Bugis, maka fungsi religius ini tidak berfungsi lagi, melainkan dilakukan hanya sekedar bermain di kalangan anak-anak dan remaja. Mengenai asal usul permainan ini belum dapat dipastikan benar, sebab selain di daerah Bugis, juga dijumpai dibeberapa daerah lainnya seperti Minahasa dan Mongondou di Sulawesi Utara yang disebut Mogilangkadan. Orang Mori di Palu dan Poso menyebutnya Motilako, di pulau Jawa dikenal dengan nama Jangkungan dan juga terdapat di pulau Buton Sulawesi Tenggara dan di Sumatera. DR. B. F. Matthes mengemukakan bahwa Mallongnga dijumpai pula di Filipina, Malaysia dan Jepang. Berdasarkan penyebarannya ini, Matthes memperkirakan bahwa Mallongnga di Sulawesi Selatan kemungkinan dari Filipina melalui Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah. Selanjutnya Mathhes mengatakan kemungkinan Mallongnga di Indonesia lebih tua dari kebudayaan Hindu karena ditemukan di banyak tempat yang tidak dipengaruhi oleh kebudayaan Hindu. Misalnya dikalangan orang-orang Polynesia, Mallongnga merupakan salah satu kebudayaan penting yang ada sejak dahulu. Perlengkapan permainan terdiri atas dua batang bambu yang kuat dan panjangnya lebih dua kali tinggi badan yaitu sekitar 3 meter. Mengenai panjang bambu tergantung pada tingkat perkembangan usia dan keberanian seorang pemain.

11. MAJJEKA
Berasal dari kata Jeka yang artinya jalan. Merupakan permainan masyarakat pada umumnya oleh karena bahan utamanya mudah diperoleh. Perlengkapan permainan terdiri atas tempurung kelapa yang utuh dan kuat dan tiap belahan ujungnya dibei lubang. Juga terdapat dua utas tali yang ujungnya/panjangnya kurang lebih 1,5 meter.

12. MAPPASAJANG
Berasal dari kata Sajang yang artinya melayang. Sedangkan orang Bugis yang berdiam di Sidenreng Rappang menamainya Malambaru, berasal dari kata Lambaru, yakni ikan pari. Penamaan ini berdasarkan kepada bentuk peralatan pokok dari permainan ini, yaitu menyerupai ikan pari. Dan saat ini lebih populer dengan nama permainan laying-layang. Bentuk dan ragam hias layang-layang berbagai macam, tetapi masyarakat Bugis tradisional umumnya menggunakan bentuk dan corak binatang. Menurut sejarahnya bahan yang digunakan pada mulanya adalah jenis dedaunan yang lebar dan telah kering kemudian diberikan tali. Setelah penggunaan kertas dikenal, mulailah dijadikan sebagai bahan utama pembuatan layang-layang.

13. MAGGECCIK
Berasal dari kata geccik yang artinya menyentik. Merupakan permainan tradisional yang hanya dapat dilakukan oleh kalangan masyarakat biasa. Peralatan permainan adalah biji-bijian, umumnya yang digunakan adalh biji asam.

14. MAPPOLO BECENG / MALLAPPO PINCENG
Termasuk jenis permainan rakyat untuk golongan anak-anak. Didalam penyelenggaraan permainan, tidak dilakukan pembauran antara pria dan wanita. Dengan kata lain, yang pria bermain dengan sesamanya dan wanita juga bermain dengan sesamanya.

15. MASSANTOK
Di daerah Bugis, permainan ini populer dengan nama Massantok, kecuali orang Bugis yang berdiam di Soppeng menyebutnya Maggalantok. Termasuk jenis permainan yang dapat dilakukan oleh semua golongan masyarakat. Kehadiran permainan ini sangat berkaitan dengan kegemaran suku Bugis menunggang kuda. Peralatan permainan terdiri atas sebuah batu besar yang akan dijadikan sebagai sasaran lontaran permainan dan sebuah batu agak kecil dan pipih sebesar genggaman tangan untuk masing-masing pemain sebagai alat pelempar.

16. RENGNGENG
Dewasa ini, rengngeng lebih populer dengan nama perburuan rusa. Masyarakat tradisional Bugis melakukan secara kolektif sesudah panen atau pada waktu jagug sudah hampir berbuah. Pada masa silam, merupakan permainan kegemaran kaum bangsawan, dimana Rusa adalah salah satu binatang liar yang digemari karena dagingnya enak. sebagai suatu kegemaran pada mulanya timbul dan dilakukan oleh kaum bangsawan sebagai suatu hiburan kreatif sekaligus melatih ketangkasan personal untuk menghdapi kemungkinan perang. Perburuan Rusa juga digunakan pula untuk mencari bibit-bibit Tobarani yang tangguh dan gesit.

17. MATTOJANG
Mattojang adalah penamaan permainan di daerah Bugis, berasal dari kata tojang. Dalam bahasa Bugis lainnya disebut Mappare, berasal dari kata pere. Kata Tojang dan pere mempunyai arti yang sama, yaitu ayunan. Dalam hal ini yang dimaksudkan dengan permainan ini adalah permainan ayunan atau berayun. Pada umumnya Mattojang diselenggarakan dalam rangka memeriahkan pesta-pesta tertentu, yaitu pesta panen, pernikahan dan kelahiran seorang bayi. Dalam masyarakat Bugis tradisional, permainan ini diselenggarakan oleh kalangan bangsawan/raja-raja atau penguasa adat. Kehadiran permainan ini tidak bias dilepaskan dari kepercayaan masyarakat Bugis kuno. Menurut mitos yang melatarbelakangi penyelenggaraan permainan bahwa dimaksudkan untuk mengingatkan kembali prosesi diturunkannya manusia yang pertama yaitu Batara Guru dari Boting Langiq atau kayangan ke bumi. Beliau diturunkan ke bumi dengan tojang pulaweng atau ayunan emas. Batara Guru inilah yang dianggap sebagai nenek moyang manusia dan merupakan nenek dari Sawerigading, tokoh legendaris yang terkenal dalam mitos rakyat Bugis. Kemudian berkembang dalam bentuk permainan sebagai tanda syukur atas berhasilnya panen. Menurut Kauderen bahwa permainan ayunan kemungkinan berasal dari Jawa yang mulai masuk dan berkembang di Indonesia bersamaan dengan kedatangan pengaruh Hindu. Hal ini didasarkan pada persamaan waktu penyelenggaraannya serta cara pelaksanaannya, baik di Jawa maupun di India. Adapun perlengkapan Mattojang kuno terdiri atas dua batang kelapa atau bambu betung dengan tinggi kurang lebih 10 meter untuk tiang ayunan. Tali yang terbuat ari kulit kerbau yang dililit dan panjangnya sedikit lebih pendek dari tiang ayunan. Tudangeng merupakan tempat duduk yang terbuat dari kayu. Peppa yaitu alat penarik ayunan yang terbuat dari rotan atau tali sabut yang panjangnya 3-4 meter, dimana salah satu ujung peppa dikaitkan pada bagian bawah larik. Mattojang dilakukan oleh minimal 3 orang. Seorang berayun dan dua orang yang menarik dan mengayun-ayunkan kemuka dan ke belakang silih berganti. Pengayunan ini disebut Padere.

18. MAPPADENDANG
Berasal dari kata dendang yang berarti irama atau alunan bunyi. Pada masa silam, mappadendang dilakukan di malam hari sewaktu bulan purnama. Selain itu diselenggarakan dalam kaitannya dengan upacara tertentu yakni pernikahan dan panen yang berhasil. Mappadendang hanya dilakukan oleh gadis-gadis dan pemuda-pemuda dari kalangan masyarakat biasa. Pada dasarnya permainan ini berasal dari bunyi tumbukan alu ke lesung yang silih berganti sewaktu menumbuk padi. Irama ini kemudian dikembangkan mnjadi mappadendang dengan menambah bobot irama tumbukan alu ke lesung. Pada fase berikutnya, permainan ini lebih dikembangkan lagi, dimana alunan irama lebih teratur disertai dengan variasi bunyi dan gerakan bahkan diiringi dengan tarian.

19. MAKKURUNG MANU
Berasal dari kata kurungeng yang artinya kurungan dan manuk yang berarti ayam. Jadi yang dimaksudkan adalah permainan mengurung ayam. Penamaan permainan ini lebih bersifat simbolis. Termasuk jenis permainan rakyat untuk golongan anak-anak. Pada mulanya hanya merupakan permainan sembunyi-sembunyian. Akan tetapi karena kepercayaan masyarakat dulu bahwa banyak anak-anak yang hilang disembunyikan oleh mahluk halus yang bernama nasobbu talimpau. Maka pada umumnya anak-anak dilarang bermain sembunyi-sembunyian di malam hari. Kemudian muncullah permainan Makkurung Manuk yang dianggap lebih praktis dan berguna.

20. MANGGUNRECO
Maggunreco adalah penamaan permainan ini didaerah Bugis umumnya. Di daerah Bugis Sidenreng Rappang lebih dikenal dengan nama Majepe atau Attele. Permainan ini dilakukan sewaktu suatu keluarga berkabung, yaitu pada malam pertama jenazah dimakamkan sampai pada waktu-waktu tertentu, seperti malam ketujuh, keempat puluh dan keseratus. Lamanya penyelenggaraan permainan bergantung kepada derajat kebangsawanan dan kemampuan materil seseorang. Pada masyarakat Bugis tradisional, permainan ini hanya diselenggarakan apabila yang berkabung adalah golongan bangsawan. Adapun yang bermain dapat dilakukan oleh siapa saja tanpa pembatasan status sosial seseorang. Puncak acara ini ialah pada malam hari malam keempat puluh. Menjelang esok harinya diselenggarakan upacara Mattampung yaitu penyusunan batu bata dan nisan permanen. Penyelenggaraannya berhubungan erat dengan kepercayaan masyarakat Bugis tradisional, bahwa orang yang mati sebelum cukup empat puluh hari empat puluh malam, masih berada disekitar rumah dan keluarganya. Sesudah itu barulah san roh pergi ke tempatnya yang abadi. Dengan demikian, puncak acara yang diselenggarakan pada malam keempat puluh tersebut merupakan perpisahan agar perjalanan rohnya selamat. Pada mulanya permainan ini bersifat religius, pantang dilakukan pada hari-hari lain karena mengundang kematian. Namun dengan masuknya Islam, permainan ini kemudian dilakukan disembarang waktu.

21. MASSEMPEK
Berasal dari kata sempek yang berarti sepak. Dengan demikian yang dimaksudkan adalah permainan saling menyepak atau berlaga dengan menggunakan kaki. Diselenggarakan pada pesta atau upacara adat, misalnya panen, pernikahan, pelantikan raja dan kadang-kadang dilakukan untuk mengisi waktu senggang. Dalam masyarakat Bugis tradisional, permainan ini hanya dilakukan oleh kalangan budak (ata’). Pada mulanya penyelenggaraan permainan ini hanya sekedar keisengan dari kalangan bangsawan untuk menghibur diri dengan jalan mengadu hamba sahayanya. Dikemudian hari berkembang menjadi permainan yang digemari oleh masyarakat umum.

22. MALLANCA
Berasal dari kata lanca, yaitu menyepak dengan menggunakan tulang kering, yang sasarannya ialah ganca-ganca, yakni bagian kaki diatas tumit. Permainan ini termasuk yang digemari oleh masyarakat Bugis tradisional dalam rangkaian penyelenggaraan pesta-pesta adat dan hanya dilakukan oleh kalangan budak (ata’). Sebagaimana halnya dengan Massempek, maka Mallanca ini pada mulanya hanya sekedar hiburan kalangan bangsawan yang kemudian turut digemari oleh masyarakat luas.

23. MAMMENCAK
Berasal dari kata mencak yang artinya pencak atau silat. Jadi yang dimaksud adalah permainan pencak silat. Dilakukan pada pesta-pesta/keramaian adat yang diselenggarakan oleh suatu keluarga serta upacara adat lainnya yang diselenggarakan oleh masyarakat. Asal permainan ini diperkirakan dari Semenanjung Malayu melalui Sumatera, dengan perantaraan dari orang-orang Melayu yang dating ke Sulawesi Selatan dimasa silam. Hal ini didasarkan pada penamaannya yang juga disebut dengan Silak Melayu atau Silat Melayu.

24. MACCUBBU
Berasal dari kata cubbu yang berarti sembunyi, atau dengan kata lain Maccubbu berarti bermain sembunyi-sembunyian. Termasuk kedalam permainan ini adalah Mallojo-lojo, Enggo, Mappajolekka dan Mallonci. Pada zaman dahulu, dimainkan pada bulan purnama, dimana ketika itu anak-anak keluar rumah bermain bersuka cita. Merupakan permainan rakyat yang sangat disukai oleh kalangan anak-anak.

sumber : http://qhadrymasogi.blogspot.com/