Sabtu, 04 Januari 2014

SILSILAH KERAJAAN BONE

beritaparepare@blogspot.com,-SILSILAH RAJA BONE
Riwayat Raja Bone (1) : Manurunge’ ri Matajang

Tulisan ini merupakan tulisan bersambung tentang Riwayat Raja – raja Bone. Bone merupakan salah satu kabupaten dalam lingkup wilayah Propinsi Sulawesi Selatan. Ibukota Kabupaten ini, Watampone memiliki luas wilayah 4.559 km² dan secara administratif terdiri dari 27 kecamatan, 333 desa dan 39 kelurahan. Kabupaten ini terletak 174 km ke arah timur Kotamadya Makassar, berada pada posisi 4°13′- 5°6′ LS dan antara 119°42′-120°30′ BT, pada sebelah utaranya berbatasan dengan Kabupaten Wajo dan Soppeng, sebelah timur dengan Teluk Bone, sebelah barat berbatasan dengan Maros, Pangkep dan Barru dan sebelah selatannya dengan Kabupaten Gowa dan Sinjai.
Di bekas wilayah kabupaten inilah pernah berdiri sebuah kerajaan besar yang merdeka dan berdaulat, yaitu Kerajaan Bone. Rajanya digelari Arung Mangkaue ri Bone, yang artinya Raja yang berkedudukan di Bone. Kerajaan Bone berdiri sekitar Abad XIV dengan raja pertamanya, Manurunge’ ri Matajang. Rajanya yang terkenal diantara Arung Palakka Petta Malampeq Gemmekna, yang oleh Belanda digelari “Radja Palacca, Koningh der Bougis”. Sebagian besar penduduknya berpenutur Bahasa Bugis, biasa juga disebut To Ugi Bone (orang Bugis Bone). Salah seorang putera terbaik Bone pernah menjabat sebagai Wakil Presiden RI, beliau tak lain adalah HM Jusuf Kalla.
* * *
Hampir semua kerajaan di Sulawesi Selatan mempunyai dongeng, mitos atau Patturioloang (cerita tentang Orang – orang dahulu kala) yang menyatakan bahwa raja pertama kerajaan dalam wilayah Sulawesi Selatan itu adalah Tumanurung (bahasa Makassar) atau TomanurungE (‘tu’ atau ‘to’ berasal dari kata ‘tau’ berarti orang sedang ‘manurung’ berarti yang turun dari langit atau kayangan). Bahkan, tidak hanya berhenti disitu, istrinya yang kemudian menjadi ratu, ibunda dari pangeran yang akan melanjutkan dinasti kerajaan juga biasa disebut TumanurungE (Makassar : Tumanurung bainea, Bugis : Tomanurung makkunrai). (Makkulau, 2005).
Kronik Bone memulai cerita masa awal kerajaannya tepat diakhir cerita I La Galigo dimana dijelaskan masa sebelum datangnya Tomanurung sebagai masa kekacauan yang berlangsung selama tujuh pariyama (generasi). Menurut hitungan lama, satu pariyama sama dengan masa 100 tahun. Jadi kalau mengacu pada perhitungan ini maka keturunan Puatta MenreE ri Galigo telah hilang 700 tahun sebelum kemunculan Tomanurung. Bone dan negeri - negeri sekitarnya mengalami kekacauan yang luar biasa. Dalam Lontara’ Akkarungeng ri Bone, diketahui bahwa setelah berakhir keturunan Puatta Menre’E ri Galigo, keadaan negeri - negeri diwarnai dengan kekacauan karena tidak adanya Arung (raja) yang mengatur tatanan kehidupan bermasyarakat. Terjadilah perang antar kelompok anang (perkauman) yang berkepanjangan. Dalam istilah lokal, hal ini disebut saling memakan bagaikan ikan (bugis : sianre bale). Kelompok - kelompok kaum saling bermusuhan dan berebut kekuasaan dimana yang kuat menguasai kelompok yang lemah dan memperlakukan sesuai kehendaknya. (Makkulau, 2007).
Nanti setelah TomanurungE, menjadi penguasa di Bone, barulah ketertiban dapat ditegakkan dan kesejahteraan rakyat dapat dikembalikan. Ditetapkannya penguasa Tomanurung di Bone diikuti dengan pembentukan Dewan Penasehat, Aruppitu (Tujuh Penguasa), yang terdiri dari pemimpin dari tujuh komunitas. Kemunculan Arumpone (Raja Bone), “ManurungE ri Matajang Mata SilompoE”, ditandai dengan gejala alam yang menakutkan dan mengerikan. Terjadi gempa bumi yang sangat dahsyat, kilat dan guntur sambar menyambar, hujan dan angin puting beliung yang sangat keras. Setelah keadaan itu reda, tiba - tiba di tengah padang luas muncul orang berdiri dengan pakaian serba putih. Karena tidak diketahui asal usul kedatangannya, maka orang menyebutnya ’Tomanurung’.
Adapun kesepakatan orang yang menganggapnya sebagai Tomanurung adalah untuk mengangkatnya menjadi Arung (raja) agar ada yang bisa memimpin mereka.
Orang banyak berkata, ”Kami semua datang ke sini untuk meminta agar engkau jangan lagi mallajang (menghilang). Tinggallah menetap di tanahmu agar engkau kami angkat menjadi arung (raja). Kehendakmu adalah kehendak kami juga, perintahmu kami turuti. Walaupun anak isteri kami engkau cela, kami pun mencelanya, asalkan engkau mau tinggal”.
Orang yang disangka To Manurung menjawab, ”Bagus sekali maksudmu itu, namun perlu saya jelaskan bahwa saya tidak bisa engkau angkat menjadi arung sebab sesungguhnya saya adalah hamba sama seperti engkau. Tetapi kalau engkau benar-benar mau mengangkat arung, saya bisa tunjukkan orangnya. Dialah arung yang saya ikuti”.
Orang banyak berkata, ”Bagaimana caranya kami mengangkat seorang arung yang kami belum melihatnya?”.
Orang yang disangka To Manurung menjawab, ”Kalau benar engkau mau mengangkat seorang arung , saya akan tunjukkan tempat – matajang (terang), disanalah arung itu berada”.
Orang banyak berkata, ”Kami benar-benar mau mengangkat seorang arung, kami semua berharap agar engkau dapat menunjukkan jalan menuju ke tempatnya”.
Orang yang disangka To Manurung (konon bernama Pua’ Cilaong dari Bukaka), mengantar orang banyak tersebut menuju kesuatu tempat yang terang dinamakan Matajang (berada dalam kota Watampone sekarang).
Di tempat yang dituju, nampaklah Tomanurung yang sesungguhnya duduk di atas batu besar dengan pakaian serba kuning dengan ditemani tiga orang yaitu : satu orang yang memayungi payung kuning, satu orang yang menjaganya dan satu orang lagi yang membawa salenrang.
Tomanurung berkata, ”Engkau datang Matowa ?”
MatowaE menjawab, ”Iye, Puang”.
Barulah orang banyak mengetahui bahwa yang disangkanya Tomanurung itu adalah seorang Matowa. Matowa itu mengantar orang banyak mendekati Tomanurung yang berpakaian serba kuning.
Berkatalah orang banyak kepada Tomanurung : ”Kami semua datang ke sini untuk memohon agar engkau menetap. Janganlah lagi engkau mallajang (menghilang). Duduklah dengan tenang agar kami mengangkatmu menjadi Arung. Kehendakmu kami ikuti, perintahmu kami laksanakan. Walaupun anak isteri kami engkau cela, kami pun mencelanya. Asalkan engkau berkenan memimpin kami”.
Tomanurung menjawab : ”Apakah engkau tidak membagi hati dan tidak berbohong?”
Setelah terjadi kontrak sosial antara Tomanurung dengan orang banyak, dipindahkanlah To Manurung ke Bone untuk dibuatkan salassa (rumah). Tomanurung tersebut tidak diketahui namanya sehingga orang banyak menyebutnya ManurungE ri Matajang. Kalau datang di suatu tempat dan melihat banyak orang berkumpul dia langsung mengetahui jumlahnya, sehingga digelar Mata SilompoE. Arumpone pertama ini kemudian kawin dengan ManurungE ri Toro yang bernama We Tenri Wale. Dari perkawinan itu lahirlah La Ummasa dan We Pattanra Wanua, beberapa riwayat menyebutnya ada lima bersaudara. Yang pertama kali dilakukan Manurunge ri Matajang adalah mappolo leteng (menetapkan hak - hak kepemilikan orang banyak), meredakan segala bentuk kekerasan dan melahirkan hukum adat (bicara) serta menentukan bendera kerajaan yang dinamai WoromporongE.
Setelah genap empat pariyama memimpin orang Bone, dikumpulkanlah seluruh orang Bone dan menyampaikan, ”Duduklah semua dan janganlah menolak anakku La Ummase’ untuk menggantikan kedudukanku. Dia pulalah nanti yang melanjutkan perjanjian antara kita”. Beberapa saat setelah mengucapkan kalimat perpisahan itu, dalam Lontaraq Akkarungeng ri Bone disebutkan munculnya kilat dan guntur saling menyambar diakhiri dengan menghilangnya (mallajang) ManurungE ri Matajang dan isterinya, ManurungE ri Toro dari tempat duduknya. Salenrang dan payung kuning turut pula menghilang membuat seluruh orang Bone heran dan takjub. (***)
B E R S A M B U N G . . . . .

Riwayat Raja Bone (2) : LA UMMASE


Gapura Bone (foto : google)
Dalam Lontaraq Akkarungeng ri Bone, La Ummase (1358 – 1424), disebutkan bahwa Dialah yang menggantikan ManurungE ri Matajang sebagai Arung Mangkaue ri Bone. Beliau digelari Petta Panre Bessie’ karena Arumpone (Bugis : Raja Bone) inilah yang mula-mula menciptakan alat dan perkakas dari besi di Bone dan kalau bepergian, hanya dinaungi dengan kaliyao (tameng) untuk melindunginya dari teriknya matahari. Hal ini dilakukan karena tidak ada lagi payung (maksudnya : payung kerajaan) di Bone. (Makkulau, 2009)
La Ummase’ Petta Panre Bessie’ sangat dicintai rakyatnya karena selain merakyat, juga memiliki berbagai kelebihan seperti berdaya ingat tajam, penuh perhatian, jujur, adil dan bijaksana. Dalam upayanya memperluas wilayah kekuasaannya, La Ummase’ menaklukkan wilayah – wilayah sekitarnya, Anro Biring, Majang, Biru, Maloi dan Cellu (Lontara Akkarungeng ri Bone). Politik ekspansinya berhasil menaklukkan kerajaan kecil tetangganya, “Maloi, Biru, Majang, Anrobiring, Cellu, Palakka dan Taneteriattang”. (Kasim, 2002)
Dengan diplomasi politik yang didukung kekuatan militer, La Ummase berupaya menduduki Palakka namun tidak berhasil. “Baginda ini pulalah, La Ummase, Raja Bone II (1362 – 1398) yang berselisih dengan iparnya dari saudara perempuannya We Patanra Wanua, raja tetangga kerajaannya yang paling dekat, yaitu La Pattikkeng Aru Palakka. Kurang lebih tiga bulan lamanya bertempur, tetapi tidak ada yang berhasil tampil sebagai pemenang”. (Kasim, 2002). Akhirnya berdamai kembali dan keduanya menyadari bahwa permusuhan tidak akan membawa keuntungan. Palakka dengan sendirinya nantinya menggabungkan diri dengan Bone.
Sasaran upaya perluasan wilayah kekuasaan Kerajaan Bone pada tahap awal itu ditujukan ke arah pantai Teluk Bone (Cellu, Maloi, dan Anrobiring yang terletak di pantai barat Teluk Bone). Cellu pada masa itu menguasai Bandar yang sekarang menjadi Pelabuhan BajoE. Penguasaan atas daerah pantai ini, sangat strategis artinya, dilihat dari segi politik dan sosial ekonomi. Karena suatu Negara tanpa Bandar niaga laut akan terisolasi dari dunia luar. (Kasim, 2002).
La Ummasa tidak memiliki putra mahkota yang kelak bisa menggantikan kedudukannya sebagai Mangkau’ di Bone. Dia hanya memiliki anak perempuan, To Suwalle dan To Sulewakka dari isterinya yang berasal dari to sama’ (orang biasa, bukan bangsawan). Oleh karena itu, setelah dia tahu bahwa We Pattanra Wanua akan melahirkan, La Ummasa menyuruh anaknya pergi ke Palakka ke rumah saudaranya yang diperisterikan oleh Arung Palakka La Pattikkeng. Kepada anaknya To Suwalle dan To Sulewakka, La Ummasa berpesan, ”Kalau Puangmu telah melahirkan, maka ambil anak itu dan bawa secepatnya kemari. Nanti di sini baru dipotong ari - arinya dan ditanam tembuninya”.
Tidak berapa lama lahirlah anak laki - laki sehat dan memiliki rambut yang tegak ke atas (Bugis : karang) sehingga dinamakanlah Karampelua. Ketika anaknya dibawa ke Bone, Arung Palakka La Pattikkeng tidak ada di tempat dan tindakan La Ummase’ itu menyakitkan hatinya. Sesampainya di istana Arumpone, bayi tersebut barulah dipotong Ari - arinya dan dicuci darahnya. Bayi itu kemudian dipelihara oleh saudara perempuan Arumpone yang bernama We Samateppa.
Arumpone La Ummase mengundang seluruh rakyatnya untuk datang berkumpul dan membawa senjata perang. Keesokan harinya berkumpullah seluruh rakyat lengkap dengan senjata perangnya. Dikibarkanlah bendera Woromporonge’ dan turunlah Arumpone di Baruga menyampaikan, ”Saya undang kalian untuk mendengarkan bahwa saya telah mempunyai anak laki-laki yang bernama La Saliyu Karampelua. Mulai hari ini saya menyerahkan kedudukan saya sebagai Arumpone. Dan kepadanya pula saya serahkan untuk melanjutkan perjanjian yang pernah disepakati antara Puatta ManurungE ri Matajang dengan orang Bone”. Seluruh orang Bone mengiyakan kemudian angngaru’ (menyatakan ikrar setia).
Dilantiklah La Saliyu Karampelua kecil oleh pamannya La Ummase’ menjadi Arumpone. Acara pelantikan itu berlangsung selama tujuh hari tujuh malam. Setelah itu dinaikkanlah La Saliyu Karampelua ke LangkanaE sejak dilantiknya menjadi Arumpone. Gelar Matinroe (nama setelah meninggal) La Ummase’ sepeninggalnya Petta To Mulaiye Panreng yang artinya raja yang mula-mula dikuburkan. (Makkulau, 2009) (***)
B e r s a m b u n g . . . . .
Riwayat Raja Bone (3): La Saliyu Karempalua



Peta wilayah Bone saat ini (foto : google)
MASIH bayi sudah menjadi raja negeri besar. Inilah yang terjadi pada diri Karempalua karena sudah menjadi ketetapan pamannya, Raja Bone II La Ummase’. Dalam Lontaraq Akkarungeng ri Bone disebutkan bahwa La Saliyu Karempalua (1424 – 1496) adalah Arumpone (Raja Bone) yang menggantikan pamannya, La Ummase’. Kedudukannya ini diterima dari pamannya sejak berusia satu malam (masih bayi). Kalau ada sesuatu yang akan diputuskan maka To Suwalle yang memangkunya menjadi juru bicaranya. Kemudian yang bertindak selaku Makkedangen Tana (Perdana Menteri) adalah To Sulewakka.
Ketika memasuki usia dewasa, barulah La Saliyu Karampelua mengunjungi orang tuanya di Palakka. Sesampainya di Palakka, kedua orang tuanya sangat gembira dan diberikanlah pusakanya yang menjadi miliknya, juga Pasar Palakka. Sejak itu orang Palakka tidak lagi berpasar di Palakka tapi pindah ke Bone. La Saliyu Karampelua dikenal sangat mencintai dan menghormati kedua orang tuanya. Ata’ alena (hamba sendirinya) dikeluarkan dari Saoraja (istana) dan ditempatkan di Panyula. Sementara hamba yang didapatkan setelah menjadi Arumpone di tempatkan di Limpenno. Orang Panyula dan orang Limpennolah yang mempersembahkan ikan. Dia pula yang menjadi pendayung perahunya dan pengusungnya jika Arumpone ini bepergian jauh.
La Saliyu Karampelua sangat dicintai oleh rakyatnya karena memiliki sifat - sifat rajin, jujur, cerdas, adil dan bijaksana. Ia juga dikenal pemberani dan tidak pernah gentar menghadapi musuh. Konon sejak masih bayi tidak pernah terkejut bila mendengarkan suara - suara besar dan aneh. Arumpone ini dikawinkan orang tuanya dengan sepupunya yang bernama We Tenri Roppo, ana’ pattola (putri mahkota) Arung Paccing. Dari perkawinan itu lahirlah We Banrigau Daeng Marowa dan We Pattana Daeng Mabela MakkaleppiE Arung Majang. Oleh Arumpone Petta Karempalua, sebagian orang Bukaka dibawa ke Majang untuk menjadi rakyat MakkaleppiE yang kemudian mendirikan Sao LampeE ri Bone, yang diberinya nama Lawelareng. Sehingga digelari pula MakkaleppiE – Massao LampeE Lawelareng atau Puatta Lawelareng.
Raja Bone III ini melanjutkan kegiatan ekspansi yang telah dirintis pendahulunya, bahkan lebih besar dan berhasil menduduki kerajaan – kerajaan kecil, seperti : Pallengoreng, Sinri, Melle, Sancereng, Cirowali, Apala, Bakke, Atta Salo, Soga, Lampoko, Lemoape, Parippung, Lompu, Limampanua Rilau Ale, Babauwae, Barebbo, Pattiro, Cinennung, Ureng, Pasempe, Kaju, Ponre, dan Aserabate Riawang Ale.
Data tersebut menunjukkan bahwa Bone pada masa itu telah menguasai wilayah yang cukup luas (menurut ukuran pada masa itu), sehingga organisasi pemerintahan perlu pula ditingkatkan. Untuk itu La Saliu membagi wilayah pemerintahan Kerajaan Bone menjadi tiga wilayah administratif, sesuai dengan pembagian warna bendera Kerajaan Bone. Pertama, Negeri – negeri yang memakai bendera Woromporongnge’ : Matajang, Mattoanging, Bukaka Tengah, Kawerrang, Pallengoreng, Maloi. Semuanya dibawah koordinasi Matoa Matajang. Kedua, Negeri – negeri yang memakai umbul merah di sebelah kanan Woromporongnge’ : Paccing, Tanete,. Lemo, Masalle, Macege, Belawa, Semuanya dibawah koordinasi Kajao Ciung dan Ketiga, Negeri – negeri yang memakai umbul merah di sebelah kiri Woromporongnge’ : Arasong, Ujung, Ponceng, Ta’, Katumpi, Padaccennga, Madello. Semuanya dibawah koordinasi Kajao Arasong”. (Lontaraq Akkarungeng ri Bone ; Kasim, 2002)
Pembagian tersebut menunjukkan struktur organisasi pemerintahan Kerajaan Bone dibawah La Saliyu Petta Karempalua. Dengan membagi Bone atas tiga wilayah, berarti telah meletakkan pola desentralisasi pemerintahan sesuai dengan tuntutan pragmatis luasnya wilayah kekuasaan Kerajaan Bone pada masa itu. Menurut Prof Mr. Muhammad Yamin, “Raja Bone Petta Karempalua adalah Raja Bone pertama yang menetapkan pemakaian bendera merah putih sebagai bendera Kerajaan Bone” . Muhammad Yamin menulis bahwa pada tahun 1398 – 1470, Raja Bone bernama Kerampalua mengibarkan bendera merah putih, yaitu Bendera Woromporong berwarna merah dan umbul – umbul pinggirnya di kiri – kanan berwarna putih, cellae riaya tau cellae ri abeo”. Fakta ini menurutnya menunjukkan bahwa Kerajaan Bone telah meletakkan pola dasar yang kuat untuk menjadikan ”Bendera Merah Putih” sebagai bendera negara. (Kasim, 2002 dalam Makkulau, 2009).
Kerajaan – kerajaan yang telah menyatakan diri menjadi bagian wilayah kerajaan Bone, dan tidak termasuk ke dalam salah satu wilayah koordinatif tersebut, mereka dijadikan wanua palili dengan status otonom. Kerajaan – kerajaan otonom yang berstatus wanua palili Bone antara lain : Kaju, Pattiro, Lima Wanua Rilau Ale. Kerajaan Palakka diperintah langsung oleh Raja Bone III ini karena Palakka adalah kerajaan pusaka dari ayahnya, La Pattinkeng. (Kasim, 2002).
Seiring perkembangan Kerajaan Bone, peraturan pertanahan dan hukum warisan diumumkan secara resmi pada waktu bersamaan untuk menjamin stabilitas hubungan di dalam komunitas (Matthes 1864, vol.1 : 466 – 68 dalam Andaya, 2006). Penguasa - penguasa berikutnya disebut telah meletakkan dasar bagi kemakmuran ekonomi. Penguasa ketiga Bone, La Saliyu Petta Karampelua, disanjung karena usahanya dalam meningkatkan jumlah tanah garapan dan pengetahuannya untuk urusan – urusan kerajaan (Matthes, 1864, vol. 1 : 471-2 ; Bakkers 1866 : 176-7 dalam Andaya, 2004).
Dalam Lontaraq Akkarungeng ri Bone, disebutkan bahwa La Saliyu Karampeluwa tiga bersaudara. Saudara perempuannya yang bernama We Tenri Pappa kawin dengan La Tenri Lampa Arung Kaju melahirkan La Tenri Bali (suami We Banrigau), sedangkan saudara perempuannya yang bernama We Tenri Roro kawin dengan La Paonro Arung Pattiro, lahirlah La Settia Arung Pattiro yang selanjutnya kawin dengan We Tenri Bali.
Anak La Saliyu Karampeluwa dari isterinya yang bernama We Tenri Arung Amali yaitu La Mappasessu kawin dengan We Tenri Lekke’. Anak La Saliyu Karampeluwa dengan isterinya We Tenri Roppo Arung Paccing, adalah We Banrigau Daeng Marowa MakkaleppiE kawin dengan sepupunya yang bernama La Tenri Bali Arung Kaju. Dari perkawinan itu lahirlah La Tenri Sukki, La Panaungi To Pawawoi Arung Palenna, La Pateddungi To Pasampoi, La Tenri Gora Arung Cina juga Arung di Majang, La Tenri Gera’ To Tenri Saga, La Tadampare (meninggal dimasa kecil), We Tenri Sumange’ Da Tenri Wewang, We Tenri Talunru Da Tenri Palesse. (Lontaraq Akkarungeng ri Bone).
Setelah genap 72 tahun menjadi Arung Mangkaue’ ri Bone, dikumpulkanlah seluruh orang Bone dan menyampaikan bahwa, ”Saya mengumpulkan kalian untuk memberitahukan bahwa mengingat usia sudah tua dan kekuatan saya sudah semakin melemah, maka saya bermaksud menyerahkan kekuasaan sebagai Arung Mangkau’ di Bone kepada pengganti saya, We Banrigau Daeng Marowa MakkaleppiE”. Mendengar itu, semua orang Bone menyatakan setuju. Maka dikibarkanlah bendera WoromporongE. Setelah itu berkata lagi Arumpone, ”Di samping itu, saya menyerahkan kekuasaan dan perjanjian yang telah disepakati oleh orang Bone dengan Puatta Mulaiye Panreng untuk dilanjutkan oleh anak saya”. Setelah orang Bone kembali, hanya satu malam saja setelah menyampaikan pewaris takhtanya, Arumpone Petta Karempalua meninggal dunia. (***)

Sumber :
https://www.facebook.com/permalink.php?story_fbid=217215005043047&id=174778575953357

Baca Juga :
http://beritaparepare.blogspot.com/2013/12/silsilah-keturunan-kerajaan-bacukiki.html

http://beritaparepare.blogspot.com/2014/01/silsilah-kerajaan-sidenreng-menurut.html
http://beritaparepare.blogspot.com/2014/01/permainan-rakyat-bugis.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar