Dapat
dikatakan bahwa hampir semua permainan rakyat tradisional Bugis
dilakukan setelah panen. Hal tersebut dikarenakan oleh waktu panen yang
hanya dilakukan sekali dalam setahun. Dan untuk mengisi waktu lowong
yang cukup panjang maka lahirlah berbagai macam permainan rakyat.
1. MARRAGA
Marraga/Mandaga adalah bahasa Bugis yang didalam bahasa Indonesia
dikenal dengan nama bermain atau bersepak raga. Penamaan ini berasal
dari jenis peralatan permainan yang digunakan yaitu raga. Adapun istilah
raga bersumber dari makna dan fungsi permainan, yaitu siraga-raga
artinya saling menghibur. Pada zaman dahulu, seorang pemuda belum bias
menikah jikalau belum mahir bermain raga. Seorang ahli permainan raga
merupakan kebanggaan dan dikagumi masyarakat yang berarti turut
meningkatkan status sosial seseorang.
Raga yaitu sejenis bola yang
terbuat dari rotan yang dibelah-belah, diraut halus kemudian dianyam,
umumnya berukuran dengan diameter sekitar 15 cm.
Asal usul permainan
raga sehingga dikenal di daerah Sulawesi Selatan, diperkirakan berasal
dari Malaka atau pulau Nias. Sehubungan dengan ini, W. Kaudren (Games
and Dances In Celebes, 1927), secara tegas meragukan bahwa berasal dari
Malaka, dengan alas an masyarakat tradisional yang ada di Malaka tidak
mengenal permainan ini. Dia lebih cenderung pada pendapat bahwa
permainan ini berasal dari daerah pantai barat Sumatera yaitu pulau
Nias, karena daerah tersebut umumnya penduduk mengenal permainan ini.
Pada mulanya permainan raga hanya dilakukan oleh kalangan bangsawan
Bugis saja, namun didalam perkembangannya selanjutnya dapat dilakukan
oleh masyarakat luas. Ada dua hal yang merupakan unsure pokok permainan
raga yaitu Sempek atau sepak dan belo yakni variasi.
2. MAGGASING
Penamaan permainan ini bersumber dari peralatan pokok yang digunakan
dalam bermain yaitu Gasing. Asal usul permainan ini belum dapat
dipastikan benar, namun dugaan yang paling kuat berasal dari Sumatera,
sebagaimana yang dikemukakan oleh Kauderen dan Matthes dalam bukunya
“Tot Bijdragen De Ethnologie Van Zuid Celebes”. Bahwa kemungkinan
permainan ini berasal dari Sumatera, kemudian berkembang ke
daerah-daerah lainnya sesudah Islam melalui hubungan dagang. Khususnya
di Sulawesi Selatan kemungkinan ini dapat diterima karena sejak lama
telah terjadi kontak dengan orang-orang Melayu, khususnya Sumatera.
3. MACCUKE
Berasal dari bahasa Bugis yaitu Cukke yang artinya ungkit, yang dengan
demikian Maccukke berarti bermain ungkit. Permainan cukke termasuk
permainan musiman yang umumnya dilakukan sedudah panen sampai pada waktu
menjelang turun ke sawah dan dilakukan pada siang hari.
4. MAGGALACENG
Permainan dilakukan malam sampai pagi hari sebagai acara rangkaian
perkabungan, dimana penyelenggaraannya berlangsung sampai pada upacara
pemasangan batu bata dan nisan kuburan orang yang meninggal yang
didaerah Bugis disebut dengan Matampung. Maggaleceng biasanya
berlangsung selama tujuh malam , 40 malam ataukah 100 malam jika yang
berkabung adalah keluarga raja. Dengan melihat suasana permainannya
menunjukkan bahwa permainan ini juga berfungsi untuk menghibur keluarga
yang berkabung dan selama berjaga-jaga supaya tidak mengantuk. Pada
zaman dahulu, oleh masyarakat tradisional Bugis, permainan ini termasuk
jenis permainan sakral, berhubungan dengan nuansa magis.
5. MASSAUNG MANUK
Berasal dari kata saung yang berarti sabung dan manuk yang berarti
ayam. Dilakukan untuk memeriahkan pesta-pesta adat misalnya perkawinan,
pelantikan raja-raja, pesta panen dan sewaktu mengeringkan padi di
lapangan. Pada waktu silam, permainan ini merupakan kegemaran kaun
bangsawan pada umumnya dan juga dapat disaksikan oleh masyarakat umum.
Dikalangan raja-raja terkadang mengadakan pertandingan antar kerajaan,
yaitu dengan mengundang raja-raja disekitarnya. Sehubungan dengan
kepercayaan masyarakat tradisional, maka yang disabung bukanlah ayam
sembarangan. Tetapi yang telah dimantra atau jampi-jampi dan dirawat
dengan cermat. Usia permainan ini sudah sangat tua dan dijumpai hamper
diseluruh nusantara. Menurut cerita rakyat Bugis, bahwa dahulu kala yang
disabung adalah manusia, yang diselenggarakan oleh kalangan
raja-raja/bangsawan sebagai hiburan sekaligus untuk mendapatkan Tobarani
(pemberani). Tetapi dikemudian hari karena dianggap terlalu kejam dan
merendahkan martabat manusia, maka diganti dengan ayam. Masyarakat
tradisional Bugis berkeyakinan bahwa dengan senantiasa melihat
pertandingan dan darah, maka akan menambah keberanian dan kesaktian.
6. MAGGALAE
Merupakan sejenis permainan yang menggunakan Kaddaro atau tempurung
kelapa. Pada zaman dahulu, permainan ini umumnya dilakukan sesudah panen
dan juga pengisi waktu senggang di kala pagi hari atau sore hari.
Permainan ini tidak didasarkan pada latar belakang stratifikasi sosial
dan karenanya sangat merakyat dalam masyarakat tradisional.
7. MALLOGO
Penamaannya bersumber dari peralatan utama bermain yaitu Logo
(berbentuk cangkul). Bentuknya yang seperti cangkul mencerminkan nilai
budaya Bugis yang bersandar pada kehidupan agraris. Biasanya dilakukan
sesudah panen dan juga pada waktu senggang lainnya. Logo terbuat dari
tempurung kelapa yang berkualitas baik dan berbentuk segitiga yang
ujung-ujungnya ditumpulkan.
8. MASSALO
Pada
mulanya dimainkan pada malam hari kala bulan purnama setelah panen usai
dan selanjutnya dilakukan pada waktu senggang lainnya. Permainan ini
merupakan permainan rakyat pada umumnya untuk anak-anak belasan tahun
dan kadang-kadang juga dilakukan oleh para remaja.
9. MABBANGNGAK
Merupakan permainan musiman yaitu setelah panen kemiri, namun selama
masa pati ngelle yaitu sesudah padi dituai sampai turun sawah
berikutnya. Juga senantiasa diadakan karena umumnya anak-anak/remaja
yang hobi memiliki persiapan kemiri, khususnya bagi anak-anak gembala
dijadikan pengisi waktu senggang. Permainan ini merupakan permainan dari
golongan masyarakat biasa atau rakyat kecil, dimana kehadiran dan
perkembangan permainan ini ditunjang oleh keadaan alam masyarakat Bugis,
terutama mereka yang hidup dan bermukim di daerah-daerah
pertanian/perkebunan. Perlengkapan permainan terdiri atas buah kemiri,
yang dalam bahasa Bugis disebut Pelleng.
10. MALLONGNGAK
Berasal dari kata longak yaitu nama mahluk halus sejenis jin yang
bentuk badanya sangat tinggi, dimana kata longak diartikan juga dengan
tinggi atau jangkung. Sehubungan dengan penamaannya ini, DR. B. F.
Matthes didalam bukunya “Bijdragen Tot De Ethnologie Van Zuid Celebes”,
mengemukakan bahwa kemungkinan Mallongnga berasal dari nama seorang
raksasa. Merupakan permainan yang digemari rakyat pada umumnya karena
cukup menarik, dengan melihat bentuk dan cara bermain, termasuk jenis
permainan olahraga. Sehubungan dengan fungsi Mallongnga, DR. B. F.
Matthes, berdasarkan hasil penelitiannya, mengemukakan bahwa kemungkinan
dahulu permainan ini merupakan salah satu bentuk pertunjukan upacara.
Didalam kehidupan masyarakat tradisional Bugis dimasa silam,
penyelenggaraan permainan ini berkaitan dengan problema magis yang
tentunya tidak terlepas dari kepercayaan masyarakat yang mistik
religius. Antara lain dapat dilihat dalam fungsi permainan yang dianggap
sebagai penangkal penyakit. Apabila disuatu kampung terdapat penyakit
yang merajalela, maka tujuh orang pria dari kampung tersebut dengan
berpakaian putih semacam talqun, Malongak mengitari kampung selama tujuh
kali dengan maksud mengusir roh jahat yang menyebabkan wabah tersebut.
Dengan cara ini mereka yakin bahwa Longngak yaitu mahluk halus yang
dianggapnya baik itu akan turut membantu mereka. Didalam perkembangan
selanjutnya, terutama setelah ajaran-ajaran Islam tersebar luas dalam
masyarakat Bugis, maka fungsi religius ini tidak berfungsi lagi,
melainkan dilakukan hanya sekedar bermain di kalangan anak-anak dan
remaja. Mengenai asal usul permainan ini belum dapat dipastikan benar,
sebab selain di daerah Bugis, juga dijumpai dibeberapa daerah lainnya
seperti Minahasa dan Mongondou di Sulawesi Utara yang disebut
Mogilangkadan. Orang Mori di Palu dan Poso menyebutnya Motilako, di
pulau Jawa dikenal dengan nama Jangkungan dan juga terdapat di pulau
Buton Sulawesi Tenggara dan di Sumatera. DR. B. F. Matthes mengemukakan
bahwa Mallongnga dijumpai pula di Filipina, Malaysia dan Jepang.
Berdasarkan penyebarannya ini, Matthes memperkirakan bahwa Mallongnga di
Sulawesi Selatan kemungkinan dari Filipina melalui Sulawesi Utara dan
Sulawesi Tengah. Selanjutnya Mathhes mengatakan kemungkinan Mallongnga
di Indonesia lebih tua dari kebudayaan Hindu karena ditemukan di banyak
tempat yang tidak dipengaruhi oleh kebudayaan Hindu. Misalnya dikalangan
orang-orang Polynesia, Mallongnga merupakan salah satu kebudayaan
penting yang ada sejak dahulu. Perlengkapan permainan terdiri atas dua
batang bambu yang kuat dan panjangnya lebih dua kali tinggi badan yaitu
sekitar 3 meter. Mengenai panjang bambu tergantung pada tingkat
perkembangan usia dan keberanian seorang pemain.
11. MAJJEKA
Berasal dari kata Jeka yang artinya jalan. Merupakan permainan
masyarakat pada umumnya oleh karena bahan utamanya mudah diperoleh.
Perlengkapan permainan terdiri atas tempurung kelapa yang utuh dan kuat
dan tiap belahan ujungnya dibei lubang. Juga terdapat dua utas tali yang
ujungnya/panjangnya kurang lebih 1,5 meter.
12. MAPPASAJANG
Berasal dari kata Sajang yang artinya melayang. Sedangkan orang Bugis
yang berdiam di Sidenreng Rappang menamainya Malambaru, berasal dari
kata Lambaru, yakni ikan pari. Penamaan ini berdasarkan kepada bentuk
peralatan pokok dari permainan ini, yaitu menyerupai ikan pari. Dan saat
ini lebih populer dengan nama permainan laying-layang. Bentuk dan ragam
hias layang-layang berbagai macam, tetapi masyarakat Bugis tradisional
umumnya menggunakan bentuk dan corak binatang. Menurut sejarahnya bahan
yang digunakan pada mulanya adalah jenis dedaunan yang lebar dan telah
kering kemudian diberikan tali. Setelah penggunaan kertas dikenal,
mulailah dijadikan sebagai bahan utama pembuatan layang-layang.
13. MAGGECCIK
Berasal dari kata geccik yang artinya menyentik. Merupakan permainan
tradisional yang hanya dapat dilakukan oleh kalangan masyarakat biasa.
Peralatan permainan adalah biji-bijian, umumnya yang digunakan adalh
biji asam.
14. MAPPOLO BECENG / MALLAPPO PINCENG
Termasuk jenis permainan rakyat untuk golongan anak-anak. Didalam
penyelenggaraan permainan, tidak dilakukan pembauran antara pria dan
wanita. Dengan kata lain, yang pria bermain dengan sesamanya dan wanita
juga bermain dengan sesamanya.
15. MASSANTOK
Di
daerah Bugis, permainan ini populer dengan nama Massantok, kecuali
orang Bugis yang berdiam di Soppeng menyebutnya Maggalantok. Termasuk
jenis permainan yang dapat dilakukan oleh semua golongan masyarakat.
Kehadiran permainan ini sangat berkaitan dengan kegemaran suku Bugis
menunggang kuda. Peralatan permainan terdiri atas sebuah batu besar yang
akan dijadikan sebagai sasaran lontaran permainan dan sebuah batu agak
kecil dan pipih sebesar genggaman tangan untuk masing-masing pemain
sebagai alat pelempar.
16. RENGNGENG
Dewasa
ini, rengngeng lebih populer dengan nama perburuan rusa. Masyarakat
tradisional Bugis melakukan secara kolektif sesudah panen atau pada
waktu jagug sudah hampir berbuah. Pada masa silam, merupakan permainan
kegemaran kaum bangsawan, dimana Rusa adalah salah satu binatang liar
yang digemari karena dagingnya enak. sebagai suatu kegemaran pada
mulanya timbul dan dilakukan oleh kaum bangsawan sebagai suatu hiburan
kreatif sekaligus melatih ketangkasan personal untuk menghdapi
kemungkinan perang. Perburuan Rusa juga digunakan pula untuk mencari
bibit-bibit Tobarani yang tangguh dan gesit.
17. MATTOJANG
Mattojang adalah penamaan permainan di daerah Bugis, berasal dari kata
tojang. Dalam bahasa Bugis lainnya disebut Mappare, berasal dari kata
pere. Kata Tojang dan pere mempunyai arti yang sama, yaitu ayunan. Dalam
hal ini yang dimaksudkan dengan permainan ini adalah permainan ayunan
atau berayun. Pada umumnya Mattojang diselenggarakan dalam rangka
memeriahkan pesta-pesta tertentu, yaitu pesta panen, pernikahan dan
kelahiran seorang bayi. Dalam masyarakat Bugis tradisional, permainan
ini diselenggarakan oleh kalangan bangsawan/raja-raja atau penguasa
adat. Kehadiran permainan ini tidak bias dilepaskan dari kepercayaan
masyarakat Bugis kuno. Menurut mitos yang melatarbelakangi
penyelenggaraan permainan bahwa dimaksudkan untuk mengingatkan kembali
prosesi diturunkannya manusia yang pertama yaitu Batara Guru dari Boting
Langiq atau kayangan ke bumi. Beliau diturunkan ke bumi dengan tojang
pulaweng atau ayunan emas. Batara Guru inilah yang dianggap sebagai
nenek moyang manusia dan merupakan nenek dari Sawerigading, tokoh
legendaris yang terkenal dalam mitos rakyat Bugis. Kemudian berkembang
dalam bentuk permainan sebagai tanda syukur atas berhasilnya panen.
Menurut Kauderen bahwa permainan ayunan kemungkinan berasal dari Jawa
yang mulai masuk dan berkembang di Indonesia bersamaan dengan kedatangan
pengaruh Hindu. Hal ini didasarkan pada persamaan waktu
penyelenggaraannya serta cara pelaksanaannya, baik di Jawa maupun di
India. Adapun perlengkapan Mattojang kuno terdiri atas dua batang kelapa
atau bambu betung dengan tinggi kurang lebih 10 meter untuk tiang
ayunan. Tali yang terbuat ari kulit kerbau yang dililit dan panjangnya
sedikit lebih pendek dari tiang ayunan. Tudangeng merupakan tempat duduk
yang terbuat dari kayu. Peppa yaitu alat penarik ayunan yang terbuat
dari rotan atau tali sabut yang panjangnya 3-4 meter, dimana salah satu
ujung peppa dikaitkan pada bagian bawah larik. Mattojang dilakukan oleh
minimal 3 orang. Seorang berayun dan dua orang yang menarik dan
mengayun-ayunkan kemuka dan ke belakang silih berganti. Pengayunan ini
disebut Padere.
18. MAPPADENDANG
Berasal dari
kata dendang yang berarti irama atau alunan bunyi. Pada masa silam,
mappadendang dilakukan di malam hari sewaktu bulan purnama. Selain itu
diselenggarakan dalam kaitannya dengan upacara tertentu yakni pernikahan
dan panen yang berhasil. Mappadendang hanya dilakukan oleh gadis-gadis
dan pemuda-pemuda dari kalangan masyarakat biasa. Pada dasarnya
permainan ini berasal dari bunyi tumbukan alu ke lesung yang silih
berganti sewaktu menumbuk padi. Irama ini kemudian dikembangkan mnjadi
mappadendang dengan menambah bobot irama tumbukan alu ke lesung. Pada
fase berikutnya, permainan ini lebih dikembangkan lagi, dimana alunan
irama lebih teratur disertai dengan variasi bunyi dan gerakan bahkan
diiringi dengan tarian.
19. MAKKURUNG MANU
Berasal dari kata kurungeng yang artinya kurungan dan manuk yang berarti
ayam. Jadi yang dimaksudkan adalah permainan mengurung ayam. Penamaan
permainan ini lebih bersifat simbolis. Termasuk jenis permainan rakyat
untuk golongan anak-anak. Pada mulanya hanya merupakan permainan
sembunyi-sembunyian. Akan tetapi karena kepercayaan masyarakat dulu
bahwa banyak anak-anak yang hilang disembunyikan oleh mahluk halus yang
bernama nasobbu talimpau. Maka pada umumnya anak-anak dilarang bermain
sembunyi-sembunyian di malam hari. Kemudian muncullah permainan
Makkurung Manuk yang dianggap lebih praktis dan berguna.
20. MANGGUNRECO
Maggunreco adalah penamaan permainan ini didaerah Bugis umumnya. Di
daerah Bugis Sidenreng Rappang lebih dikenal dengan nama Majepe atau
Attele. Permainan ini dilakukan sewaktu suatu keluarga berkabung, yaitu
pada malam pertama jenazah dimakamkan sampai pada waktu-waktu tertentu,
seperti malam ketujuh, keempat puluh dan keseratus. Lamanya
penyelenggaraan permainan bergantung kepada derajat kebangsawanan dan
kemampuan materil seseorang. Pada masyarakat Bugis tradisional,
permainan ini hanya diselenggarakan apabila yang berkabung adalah
golongan bangsawan. Adapun yang bermain dapat dilakukan oleh siapa saja
tanpa pembatasan status sosial seseorang. Puncak acara ini ialah pada
malam hari malam keempat puluh. Menjelang esok harinya diselenggarakan
upacara Mattampung yaitu penyusunan batu bata dan nisan permanen.
Penyelenggaraannya berhubungan erat dengan kepercayaan masyarakat Bugis
tradisional, bahwa orang yang mati sebelum cukup empat puluh hari empat
puluh malam, masih berada disekitar rumah dan keluarganya. Sesudah itu
barulah san roh pergi ke tempatnya yang abadi. Dengan demikian, puncak
acara yang diselenggarakan pada malam keempat puluh tersebut merupakan
perpisahan agar perjalanan rohnya selamat. Pada mulanya permainan ini
bersifat religius, pantang dilakukan pada hari-hari lain karena
mengundang kematian. Namun dengan masuknya Islam, permainan ini kemudian
dilakukan disembarang waktu.
21. MASSEMPEK
Berasal dari kata sempek yang berarti sepak. Dengan demikian yang
dimaksudkan adalah permainan saling menyepak atau berlaga dengan
menggunakan kaki. Diselenggarakan pada pesta atau upacara adat, misalnya
panen, pernikahan, pelantikan raja dan kadang-kadang dilakukan untuk
mengisi waktu senggang. Dalam masyarakat Bugis tradisional, permainan
ini hanya dilakukan oleh kalangan budak (ata’). Pada mulanya
penyelenggaraan permainan ini hanya sekedar keisengan dari kalangan
bangsawan untuk menghibur diri dengan jalan mengadu hamba sahayanya.
Dikemudian hari berkembang menjadi permainan yang digemari oleh
masyarakat umum.
22. MALLANCA
Berasal dari kata
lanca, yaitu menyepak dengan menggunakan tulang kering, yang sasarannya
ialah ganca-ganca, yakni bagian kaki diatas tumit. Permainan ini
termasuk yang digemari oleh masyarakat Bugis tradisional dalam rangkaian
penyelenggaraan pesta-pesta adat dan hanya dilakukan oleh kalangan
budak (ata’). Sebagaimana halnya dengan Massempek, maka Mallanca ini
pada mulanya hanya sekedar hiburan kalangan bangsawan yang kemudian
turut digemari oleh masyarakat luas.
23. MAMMENCAK
Berasal dari kata mencak yang artinya pencak atau silat. Jadi yang
dimaksud adalah permainan pencak silat. Dilakukan pada
pesta-pesta/keramaian adat yang diselenggarakan oleh suatu keluarga
serta upacara adat lainnya yang diselenggarakan oleh masyarakat. Asal
permainan ini diperkirakan dari Semenanjung Malayu melalui Sumatera,
dengan perantaraan dari orang-orang Melayu yang dating ke Sulawesi
Selatan dimasa silam. Hal ini didasarkan pada penamaannya yang juga
disebut dengan Silak Melayu atau Silat Melayu.
24. MACCUBBU
Berasal dari kata cubbu yang berarti sembunyi, atau dengan kata lain
Maccubbu berarti bermain sembunyi-sembunyian. Termasuk kedalam permainan
ini adalah Mallojo-lojo, Enggo, Mappajolekka dan Mallonci. Pada zaman
dahulu, dimainkan pada bulan purnama, dimana ketika itu anak-anak keluar
rumah bermain bersuka cita. Merupakan permainan rakyat yang sangat
disukai oleh kalangan anak-anak.
sumber : http://qhadrymasogi.blogspot.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar